gamisaljamilah.com

Selasa, 10 April 2018

Makalah Ulumul Qur'an, Apa Pengertian al Qur'an, Qiro'at Al Quran

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadis atau tidak merata tersebar di sepanjang Jazirah Arab. Setiap suku itu mempunyai format dialek (lahjah) yang khas dan berbeda dengan suku suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku. Mereka telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah, dan melakukan aktifitasi lainnya.
Di sisi lain, perbedaan- perbedaan dialek (lahjah) akhirnya membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam (qira’ah) dalam melafalakan Al-Quran. Fenomena keragaman dialek yang berpengaruh kepada kemampuan melafalkan bahasa Al-Quran merupakan  sesuatu yang natural atau tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW. Sendiri memebenarkan pelafalan Al-Quran dengan berbagai macam qira’at. Pada perkembangan selanjutnya, dapat dipahami bahwa perbedaan bacaan dapat dijadikan sebagai sarana mempermudah untuk membaca dan melafalkan Al-Quran yang sesuai dengan kemampuan dan dialek seseorang. 
Dialek (lahjah) sendiri ada karena adanya perbedaan bahasa maupun logat yang tersebar didalam muka bumi ini. Perbedaan dalam dialek (lahjah) dalam Al-Qur’an itu sendiri dibagi menjadi tujuh, sebagaimana yang telah disebutkan didalam Al-Qur’an “Sab’ati Ahrufin’.
Maka untuk itu sangat penting untuk dikaji lebih mendalam mengenai ‘Qiro’atul Qur’an’ didalam mata kuliah Ulumul Qur’an ini guna untuk mengetahui lebih dalam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Qiro’at Al-Qur’an?
2. Apa saja yang melatar belakangi sejarah perbedaan Qiro’at Al-Qur’an?
3. Apa saja macam-macam Qiro’at Al-Qur’an?
4. Apa saja syarat-syarat diterimanya Qiro’at Al-Qur’an?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui lebih dalam mengenai Qiro’at Al-Qur’an.
2. Memahami dan mengetahui latar belakang sejarah Qiro’at Al-Qur’an.
3. Mengetahui macam-macam Qiro’at Al-Qur’an.
4. Mengetahui syarat-syarat Qiro’at Al-Qur’an

D. Manfaat Penulisan
1. Sebagai bahan rujukan maupun referensi untuk kajian-kajian selanjutnya.
2. Sebagai bahan belajar secara mendalam mengenai Qiro’at Al-Qur’an.
3. Sebagai salah satu kajian memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bisa dikaji pada kajian selanjutnya.






BAB II
PEMBAHASAN

A. Qiro’at Al-Qur’an
a. Pengertian Qiro’at
Berdasarkan pengertian etimologi (bahasa), “Qira’at” merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja “qira’at” (membaca). Sedangkan berdasarkan pengertian terminologi (istilah), maka ada beberapa definisi menurut para ulama:
a) Menurut Az-Zarqani:
مذ هب يذهب إليه إما م من أىمّة القراء مخا لفا به غيره فى النّطق با لقران الكريم مع اتفا ق الرّ وايات والطّرق عنه سواءأكا نت هذهالمخا لفة في نطق الحروف أم في نطق هيأ تها.
  Artinya:
“Suatu madzab yang dianut sorang imam qira’at yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Quran serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya.”

b) Menurut Ibn Al-Jazari:
علم بكيفيّا ت أداءكلمات القران واختلافهابعزوالنّا فلة.
Artinya:
“Ilmu yang menyangkut cara-cara menugucapkan kat-kata Al-Quran dan perbedaan- perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.”

c) Menurut Al-Qasthalani:
“Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf,i’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuannya diperoleh secara periwayatan.”

d) Menurut Az-Zarkasyi:
اِخْتِلاًفُ اًلْفاَظِ الْوَحْيِ الْمَذْكُوْرِ فِيْ كِتَابَةِ الْحُرُوْفِ اَوْ كَيْفِيَّتِهَا مِنْ تَخْفِيْفٍ و تَقِيْلٍ وَ غَيْرِهَا
Artinya: “Qira’at adalah perbedaan (cara mengucapakan) lafazh-lafazh Al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhlif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan yang lainnya.”

e) Menurut Ash-Shabuni:
مَذْهَبٌ مِنْ مَذْهَبِ الْنُطْقِ فِي الْقُرْآنِ يَذْهَبُ بِهِ إِمَامٌ مِنَ لأَئِمَّةِ بِأَسَانِيْدِهَا اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص. م.
Artinya: “Qira’at adalah suatu madzab cara pelaalan Al-Quran yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.”

Perbedaan definisi diatas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, bahwa ada beberapa cara melafalakan al-Quran walaupun sama-sama bersalah dari satu sumber, yaitu Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang lingkup perbedaan di anatara beberapa qira’at  yang ada. Dengan demikian, ada tiga unsur qira’at yang dapat ditangakap dari definisi-definisi diatas, yaitu:

a) Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilkuakan ima-imam lainnaya.
b) Cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepad Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
c) Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl, dan washl.

B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
a. Latar Belakang Historis
Qira’at sebenarnya telah muncul  semenjak Nabi masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at bukan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang mendukung asumsi di atas:
1. Suatu ketika Umar bin Khatab berbeda pendapat dengan Hisyam Hakim ketika membaca AL-Quran. Umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut Umar bacaan Hisyam  tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa di atas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya. Nabi bersabda:

Artinya: “Memang begitulah Al-Quran diturunkan seseungguhnya Al-Quran ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.”
2. Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita: “Saya masuk ke masjid untuk
mengerjakan shalat, kemudian datanglah sesorang dan membaca surat An-Nahl, tetapi bacaanya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya,”siapakah yangmembacakan ayat itu kepadamu?” ia menjawab,”Rasulullah SAW.” Kemudian, datanglah seseorang mengerjakan shalat dengan membaca permualaan surat An-Nahl (16), tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya, ”siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” ia menjawab,”Rasulullah SAW.” Kedua orang itu lau saya ajak mengahadap Nabi. Setelah saya sampaikan maslah itu kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya surat itu. Setelah bacaaannya selesai, Nabi bersabda,’Baik. Kemudian Nabi meminta  kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya baik.

Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabiin, yaitu pada awal 11 H, tatkala pada qari’ sudah terbesar diberbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada para imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
Persoalan qira’at terus berkembang hingga masa Abu Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin Mujahid, yang terkenal dengan nama Ibn Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at (qira’at sab’ah) yang disesuaikan dengan tujuh imam qari’. Inisiataif Ibn Mujahid itu sempat memancing lahirnya kecaman dari sebagian ulama. Ibn ‘Ammar mencela keras Ibn Mujahid dan mengatakannya telah berbuat sesuatu yang ridak layak baginya. Ia dituduh telah mengaburkan persoalan dengan mengatakan bahwa qira’at yang tujuh itu adalah yang   disebut dalam hadis Nabi (inna hadza Al-Quran unzula ‘ala sab’at ahruf). Namun, berkat jasa Ibn Mujahid, kita dapat mengetahui mana qira’at yang dapat diterima dan mana yang ditolak.
Ada beberap faktor yang membuat sebagian ulama merasa keberatan atas inisiatif Ibn Mujahid di atas, yakni:
1. Inisiatif Ibn Mujahid menginventarisasi qira’at menjadi tujuh memancing kekacauan dengan timbulnya tendensi umat untuk memahami kata “sab’ah ahruf” dalam hadis Nabi sebagai qira’at sab’ah itu.
2. Inisiatif Ibn Mujahid menginventarisasi qira’at sab’ah tak pelak membuat sebagian ulama merasa keberatan. Mengapa hanya tujuh ? padahal, kajian tentang pertumbuhan qira’at yang sudah muncul semenjak zaman Nabi yang kemudian melalui jalur periwayatan tersebar ke berbagai pelosok, akan membawa kesimpulan begitu banyak qira’at yang pernah lahir.
3. Istilah qira’ah sab’ah belum masyhur sampai pada masa Ibn Mujahid. Padahal, qira’at itu sendiri sebenarnya sudaah akrab semenjak abad 11 H.
Ada beberapa pertimbangan mengapa Ibn Mujahid  hanya memilih tujuh qira’at dari sekian banyak qira’at. Ketujuh tokoh qira’at itu dipilihnya dengan pertimbangan bahwa merekalah yang paling terkemukaka, paling masyhur, paling bagus bacaannya, dan memiliki kedalaman ilmu dan usia panjang. Yang tak kalah penting dalah bahwa mereka dijadikan imam qira’at oleh masyarakat mereka masing –masing.
4. Pada masa masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan r.a mushaf Al-Quran itu disalin dan dibuat banyak, serta dikirim ke daerah –daerah islam yang pada waktu itu sudah menyebar luas guna menjadi pedoman bacaan pelajaran dan hafalan Al-Quran. Hal itu diupayakan Khalifah Usman, karena pada waktu ada perselisihan kaum muslimin di daerah  Azzerbeijan mengenai bacaan Al-Quran. Perselisihan tersebut hampir saja menimbulkan perang saudara sesama umat islam. Sebab mereka berlainan dalam menrima bacaan ayat-ayat Al-Quran karena oleh Nabi diajarkan cara bacaan yang relevan (berkaitan) dengan dialek mereka masing-masing. Tetapi karena tidak memahami maksud tujuan  yang begitu tadi, lalutiap-tiap suku atau golongan menganggap hanya bacaan mereka sendiri yang benar, sedang bacaan yang lain salah, sehingga mengakibatkan perselisihan.

Untuk memadamkan perselisihan-perselisihan itu, Khalifah Usman mengadakan penyalinan mushaf Al-Quran dan mengirimkannya ke berbagai daerah, sehingga bisa mempersatukan kembali perpecahan umat islam. Tentunya, bacaan Al-Quran di daerah-daerah tersebut mengacu pada mushaf yang dikirimkan oleh Khalifah Usman. Mushaf-mushaf yang diirim oleh Khalifah Usman seluruhnya sama, karena semuanya berasal dari beliau.

b. Latar Belakang Cara Penyampaian
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khali, perbedaan qira’at itu bermula dari cara seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Kalau diruntut, cara membaca Al-quran yang bebeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus ‘Umar dan Hisyam, diperbolehkan oleh Nabi. Lalu beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-Quran sebagai berikut:
1. Perbedaan dalam ‘irab atau harakat kalimat tanpa perubahan tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat. Misalnya pada firman Allah:
...اَلَّذِيَنَ يَبْخَلُوْنَ وَ يَأْ مُرُوْنَ النَّاس بِالْبُخْلِ...
Artinya: “....(yaitu orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir...”(QS. An-Nisa’[4]:37).
Kata Al-bakhl yang berartti kikir di sini dapat dibaca fathah pada huruf ba’nya sehingga dibaca “bi Al-bakhli”; dapat pula dibaca dhammah pada ba’nya sehingga menjadi “bi Al-bukhli.”
2. Perbedaan pada ‘irab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya. Mislanya pada firman Allah:
رَبَّنَابَاعِدْبَيْنَ أَسْفَارِنَا
Artinya: “Ya tuhan kami, jauhkanlah jarak perjalanan kami.” (Q.S. Saba’[34]: 19).
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah di atas adalah ba’id yang berarti statusnya menjadi fi’il amr;  boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjad fi’il madhi, sehingga artinya telah jauh.
3. Perbedaan pada perubahan huruf antara perubahan i’rab dan bentuk tulisannya, sementara maknanya berubah. Misalnya pada firman Allah:
وَانْظُرْ إِلَى اْلعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا
Artinya: “... dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 259).
Kata nunsyiyuha (kami menyusun kembali) yang ditulis dengan menggunakan huruf ‘zay’diganti dengan huruf ‘ra’ sehingga menjadi berbunyi  nunsyiruha yang berarti “kami hidupkan kembali.”
4. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk  tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah. Mislanya pada firman Allah:
وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَاالْعِهْنِالْمَنْفُوْشِ
Artinya: “... dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (Q.S. Al-Qari’ah [101]: 5).
Beberapa qira’at mengganti kata ka “al-‘ihin” dengan ka “ash-shufi” sehingga yang mulanya bermakna “bulu-bulu” berubah menjadi “bulu-bulu domba”. Perubahan seperti ini, berdasarkan ijma’ ulama tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan mushaf ‘Utsmani.
5. Perbedaan pada kalimat di mana bentuk dan maknanya berubah pula. Misalnya pada ungkapan thal’in  mandud menjadi thalhin mandud.

6. Perbedaan pada mendahulukan dan mengakhirkannya. Misalnya pada firman Allah:
وَجَآءَتْ سَكْرَةُالْمَوْتِ بِالْحَقِ
Artinya: “Dan datangalah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya.” (Q.S. Qaf [150]: 19).
Konon menurut suatu riwayat, Abu Bakar perrnah membacanya menjadi Wa ja’at sakrat Al-haqq bi Al-maut. Abu Bakar menggeser kata “al-maut” ke belakang. Setelah mengalami pergeseran ini, bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Kalimat itu menjadi: “Dan datanglah sekarat yang sebenar-benar dengan kematian.”. Qira’at semacam ini, juga tidak pakai, karena jelas menyalahi ketentuan yang berlaku. 
7. Perbedaan dengan menambah  dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah:

Artinya: “... surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 25).
Kata min pada ayat ini dibuang. Dan pada ayat serupa yang tanpa min  justru ditambah.
c. Sebab-Sebab Perbedaan Qira’at
Di antara sebab-sebab munculnya beberapa qira’at yang berbeda dalah sebagai berikut:
1. Perbedaan qira’at Nabi. Artinya, dalam mengajarkan Al-Quran kepada para sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi qira’at. Misalnya, Nabi pernah membaca surat As-sajdah (32) ayat 17 sebagai berikut:
.فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا اُخْفِيْ لَهُمْ مِنْ قُرَّاةِ اَعْيُنٍ
Qira’at versi mushaf ‘Utsmani adalah:
.فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا اُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّاةِ اَعْيُنٍ
2. Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan umat muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek di antara berbagai belahan dunia.

C. Macam-macam Qira’at
a. Dari Segi Kualitas
1. Qira’at Sab’ah (Qira'ah Tujuh). Maksud sab'ah adalah imam-imam Qira’at yang tujuh. Mereka adalah:
a.) Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w. 120. H.) dari Mekah. Ad-Dari termasuk generasi tab'iin. Qira'at yang ia riwayatkan diperolehnya dari ‘Abdullah bin Jubair dan lain-lain. Sahabat Rasulullah yang pernah ditemui Ad- Dari, di antaranya Anas bin Malik, Abu Ayyub Al-Anshari, ‘Abdullah bin Abbas, dan Abu Hurairah.
b.) Nafi bin‘Abdurrahman bin Abu Naim (w. 169 H.) dari Madinah. Tokoh ira belajar qira’at kepada 70 orang tabiin. Para tabiin yang menjadi gurunya itu beiajar kepada Ubay bin Ka'ab, ‘Abdullah bin ‘Abbas, dan Abu Hurairah.
c.) Abdullah Al-Yahshibi, terkenal dengan sebutan Abu ‘Amtr Ad Dimasyqi (w. 118 H.) dari Syam. la mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syaibah Al-Mahzumi, dari ‘Utsman bin ‘Attan. Tokoh tabiin ini sempat berjumpa dengan sahabat Rasulullah yang bernama Nu’man bin Basyir dan Wa’ilah bin Al-Asyqa’. Sebagian riwayat mengatakan bahwa ‘Abdullah Al-Yahshibi sempat berjumpa dengan ‘Utsman bin ‘Atfan secara langsung.
d.) Abu ‘Amar (w. 154 H.) dari Bashrah, Irak. Nama lengkapnya adalah Zabban bin Al-A‘la bin ‘Ammar. la meriwayatkan qira’at dari Mujahid bin Jabr.
e.) Ya’qub (w. 205 H.) dari Bashrah, Irak. Nama lengkapnya adalah ibn Ishak Al-Hadhrami. Ya’qub belajar qira'at pada Salam bin Sulaiman Al-Thawil yang mengambil qira'at dari ‘Ashim dan Abu Amar.
f.) Hamzah (w. 188 H.). Nama lengkapnya adalah Ibn Habib Az-Zayyat. Hamzah belajar qira'at pada Sulaiman bin Mahram Ai-A’masy, dari Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin Hubaisy, dari ‘Utsman bin ‘Attan, ‘Ali bin Abi Thalib, dan Ibn Mas'ud.
g.) Ashim. Adapun nama lengkap ‘Ashim adalah Ibn Abi An-Najud Al- Asadi (w. 127 H.), la belajar qira’at kepada Dzar bin Hubaisy, dari ‘Abdullah bin Mas’ud.

2. Qira ’at ‘Asyarah (Qira’at Sepuluh). Yang dimaksud qira’at sepuluh adalah qira'at tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah dengan tiga qira'at berikut:
a) Abu Ja’far. Nama lengkapnya adalah Yazid bin Al-Qa’qa Al-Makhzumi Al-Madani. la memperoleh qira‘at dari ‘Abdullah bin Ayy asy bin Rabi’ah, ‘Abdullah bin ‘Abbsa, dan Abu Hurairah. Mereka berdua memperolehnya dari Ubay bin Ka’ab, sedangkan Ubay memperolehnya langsung dari Nabi.
b) Ya’qub (117-205 H.). Nama lengkapnya adalah Ya'qub bin ishaq bin Yazid bin ‘Abdullah bin Abu lshaq Al-Hadhrami Ai-Bashri. la memperoleh qira’at dari banyak orang yang sanadnya bertemu pada Abu Musa Al- Asyari dan Ibn ‘Abbas, yang membacanya langsung dari Rasulullah SAW.
c) Khallaf bin Hisyam (w. 229 H.). Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa'lab Ai-Bazzaz Al-Baghdadi. ia menerima qira'at dari Sulaiman bin ‘Isa bin Habib.

Berkaitan dengan kualitas riwayat qira'at sab’ah, Az-Zarqani menuturkan lima pendapat, dari -yang ekstrem sampai yang moderat.
a) Abu Saud Farj bin Lubb, seorang mufti Andalusia, berpendepat bahwa penolakan terhadap qira'at sab’ah dapat membawa pada kekafiran karena akan menimbulkan konsekuensi pada penolakan kemutawatiran Al-Qur’an.
b) Sebagian Ulama menyamakan qira’at sab’ah dengan qira’at-qira’at lainnya. Tingkat keakurasian qira’at sab’ah, seperti halnya qira’at-qira’at lainnya,  hanya sampai pada derajat ahad.
c) Ibn As-Subuki, dalam Jam’Al-Jawami, menjelaskan bahwa qira'at sab'ah merupakan riwayat mutawatir dari Nabi.
d) Ibn Al-Hajib juga berpendapat bahwa riwayat qiraat sab'ah adalah mutawatir, tetapi ia mengecualikan persoalan-persoalan yang menyangkut Al-’ad. madd, imalah, dan takhfif hamzah. Al-Banani menjelaskan bahwa persoalan-persoalan yang dikecualikan Ibn Al-Hajib adalah persoalan yang masuk pada ruang lingkup ijtihadi.
e) Abu Syamah, dalam kitabnya Af-Mursyid Al-Wajiz, berpendapat bahwa kemutawatiran qira’at sab'ah hanya menyangkut jalan-jalan periwayatan yang telah disepakati datang dari para imam qira’at. Adapun qira’at yang jalan periwayatannya masih diperselisihkan datangnya dari mereka, qira’at itu tidaklah mutawatir
d) Qira'at Arba’at Asyrah (Qira'at Empat Belas). Yang dimaksud Qira'at empat belas adalah Qira'at sepuluh yang telah disebutkan di atas ditambah dengan empat Qira'at sebagai berikut;

1. Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H ). Salah seorang tabiin besar yang terkenal kezahidannya
2. Muhammad bin ‘Abdrrahman, yang dikenal dengan nama Ibn Mahtshar (w. 123 H.). la adalah guru Abi ‘Amr.
3. Yahya' bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi (w 202 H.), la mengambil qira'at dari Abi ‘Amr dan Hamzah.
4. Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz (w. 388 H.).

b. Dari Segi Kualitas
Berdasarkan penelitian Al-Jazari, berdasarkan kualitas, qira at dapat dikelompokkan dalam lima bagian:
1.) Qira’ah mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta Umumnya, qira‘ah yang ada masuk ke dalam bagian ini.
2.) Qira’ah masyhur yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf utsmani, masyhur di kalangan quura’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah daetapkan Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru dan menyimpang. Seperti, qira'ah dari imam tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda Sebagian perawi, misalnya, meriwayatkan dari imam tujuh itu, sementara yang lainnya tidak. Qir’ah semacam ini banyak digambar dalam kitab kitab qira‘ah. misalnya At-Taisir karya Ad-Dani, Qoshidah karya Asy-Syathibi, Au’iyyah An-Nasyr fi Ai-Qira’ah AI-'Asyr, dan An-Nasyr (kedua kitab yang terakhir ditulis Ibn Al-Jazari).
3.) Qira'ah ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan mushaf ‘Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari. Al-Tirmidzi dalam kitab Jam'-nya dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya menempatkan qira'ah seperti ini dalam bahasan khususnya, di antaranya riwayat yang dikeluarkan Al-Hakim melalui ‘Ashim Al-Jahdiri, dari Abu Bakar yang menyebutkan bahwa Nabi SAW. membaca ayat:
مُتَّكِئِنَ عَل رَفَ خُضْرٍوَعَبَاقَرِيَ حِسَانٍ.
Artinya: “Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah.”(QS. Ar-Rahman[55]:76).
Qira’ah versi mushaf ’utsmani:
مُتَّكِئِنَ عَل رَفَ خُضْرٍوَعَبَاقَرِيَ حِسَانٍ.



Dari Abu Hurairah, Al-Hakim mengeluarkan riwayat bahwa Nabi membaca ayat:
فَلاَتَعْلَمُ نَفْسٌ مَآاُخفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّتِ اَعْيُنٍ.
Artinya: “Seorang pun mengetahui apa yang disembunyikanya untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata.” (QS As-Sajdah [32]:17).
Qira'ah versi mushaf ‘Utsmani:
فَلاَتَعْلَمُ نَفْسٌ مَااُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ اَعْيُنٍ.
4.) Qira’ah Syadz(menyimpang), yakni yang sanadnya tidak sahih.Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qira'at ini. Di antara macam qira'at ini adalah: Qira’at mushaf ’Ustmani
مَالِكِ يَوْمِالدّيْنِ
5.) Qira'at maudhu’(palsu), seperti qira'at Al-Khazzani. Ash-Suyuthi kemudian menambah Qira'ahyang keenam.
6.) Qira'at yang menyerupai hadis mudraj (sisipan), yakni adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Contohnya, qira’at Abi Waqqash yang:
وَلَهُ اَخٌ اَوْاُخْتٌ مِنْ اُمّ
Artinya: “Tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki(sibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja).”(QS.An-Nisa’[4]:13)


D. Syarat-Syarat diterimanya Qira’at
Dari beberapa definisi Qira’at, dapat di ketahui bahwa syarat-syarat diterimanya qira’at adalah sebagai berikut:
1. Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih.
2. Bersesuaian dengan salah satu kaidah penulisan mushaf 'Utsmani walaupun hanya kemungkinan (ihtimal).
3. Memiliki sanad yang shahih. 

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik benang merah bahwasannya didalam ulumul qur’an terdapat pembahsan mengenai Qiro’atul Qur’an. Dimana Qiro’atul Qur’an ini muncul akibat banyakfaktor yang salah satu diantaranya adalah faktor perbedaan dialek (lahjah). Disamping itu, didalam Al-Qur’an pun telah dijelaskan bahwasanya perbedaan dialek (lahjah) dibagi menjadi tujuh atau yang biasa disebut ‘Sab’ati Ahrufin”.
Perbedaan Qiroa’atul Al-Quran sebenarnya ada sejak zaman Nabi, akan tetapi lebih disebarkan pada zaman Usman. Ketidak efektifan dalam perbedaan ini sempat menjadikan perselisihan dan perpecahan bagi umat Islam. Untuk memadamkan perselisihan-perselisihan itu, Khalifah Usman mengadakan penyalinan mushaf Al-Quran dan mengirimkannya ke berbagai daerah, sehingga bisa mempersatukan kembali perpecahan umat islam.

B.  Saran
1. Hendaknya tulisan ini mampu meningkatkan pemahaman pembaca agar mengetahui macam-macam Qiro’at Qur’an, latar belakang terjadinya perbedaan Qiro’at Qur’an, dan syarat-syarat Qiro’at Qur’an agar meningkatkan pemahaman mengenai pembahasan Qiro’atul Qur’an.
2. Dan diharapkan kajian ini dapat dijadikan bahan rujukan pada kajian Ulumul Qur’an di masa mendatang. Serta untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman mengenai latar belakang, syarat-syarat dan macam-macam perbedaan Qiro’atul Qur’an.

Sabtu, 07 April 2018

MAKALAH FIQIH SHOLAT FARDHU, SHOLAT WAJIB, SYARAT WAJIB SHOLAT, RUKUN SHOLAT, PERKARA YANG MEMBATALKAN SHOLAT, SUNNAH-SUNNAH SHOLAT


BAB I
PENDAHULUAN
    
A.      Latar Belakang Masalah
            Shalat merupakan rukun islam yang kedua. Maka bagi setiap muslim wajib melaksanakan shalat. Seperti keterangan pada QS. Al-Baqarah [2] ayat 43:
 واقيموا الصلوة وءاتوا الزكوة واركعوا مع الركعين
“Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”
Menurut syari’at Islam, praktik sholat harus sesuai dengan petunjuk tata cara Nabi Muhammad SAW. seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
 صلو كما رايتموني اصلي              
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku ketika aku sholat.” 

Sholat secara bahasa berarti do’a. Sedangkan secara istilah seperti yang ucapkan oleh Imam Ar-Rofi’i adalah ucapan dan perbuatan yang di awali dengan takbir dan di akhri dengan salam dengan beberapa syarat yang telah ditentukan[1]. Sedangkan fardu sama dengan wajib. Wajib adalah suatu hal yang apabila dilakukan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa. Sholat yang difardukan diantaranya adalah: shalat lima waktu, shalat jumat, dan shalat mayit. Namun dalam pembahasan makalah ini adalah shalat lima waktu.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa Saja Syarat Wajib Shalat Dan Syarat Sahnya Shalat?
2.    Menjelaskan Niat Dalam Shalat!
3.    Apa Saja Rukun Dalam Shalat ?
4.    Sebutkan Sunnah-Sunnah Shalat!
5.    Apa Saja Yang Dapat Membatalkan Shalat?

C.      Tujuan Pembahasan
1.         Mengetahui Syarat Wajib Dan Sayarat Sahnya Shalat
2.         Mengetahui Tata Cara Niat Dalam Shalat
3.         Mengetahui Rukun Dalam Shalat
4.         Mengetahui Sunah-Sunahnya Shalat
5.         Mengetahui Perkara-Perkara Yang Membatalkan Shalat























BAB II
                                                     PEMBAHASAN

A.      Syarat Wajib Dan Syarat Sahnya Shalat
1.      Syarat Wajib Shalat
a.       Muslim
Muslim adalah orang yang beraga Islam. selain orang Islam tidak wajib melakukan shalat. Tetapi bagi orang yang murtad, kemudian masuk Islam, maka baginya wajib melakukan shalat dan mengqadha’ shalat yang ditinggalkan selama ia menjadi orang kafir.[2] Sholat yang dimaksud di sini adalah shalat lima waktu. Diantaranya adalah: dhuhur, ashar, maghrib, isya dan subuh.
b.      Baligh
         Maka shalat tidak wajib bagi anak kecil yang belum baligh. Tetapi bagi anak kecil yang sudah mencapai umur tujuh tahun, atau sudah tamyiz, hendaknya sudah diperintahkan untuk melakukan shalat. Ketika anak tersebut meninggalkan shalat, dan anak tersebut sudah mencapai sepuluh tahun, maka pukulah dengan pukulan yang tidak menyakiti. Ciri-ciri anak yang sudah baligh biasanya ditandai dengan umur yang sudah mencapai sepuluh tahun, mimpi keluar mani, haid bagi anak perempuan. Ciri-ciri tersebut tidak terkecuali pada orang memiliki dua kelamin.
c.       Berakal
         Maka sholat tidak wajib bagi orang gila,  orang mabuk, orang yang punya penykit ayan. Tidak wajib mengqadha’ shalat bagi orang gila, apabila sudah sembuh dari penyakitnya.[3]
d.      Suci dari haid dan nifas
Wanita yang sedang haid dan nifas tidak diwajibkan untuk melakukan shalat. Bahkan baginya haram untuk malakun shalat. Wanita yang haid atau nifas, tidak wajib mengqadha’ shalat ketika sudah dalam keadaan suci. Berbeda dengan puasa, tetap wajib mengqadha’ puasa yang ditinggalkan selama haid atau nifas.
2.      Syarat Sahnya Shalat
a.       Suci dari Hadats
Orang yang melakukan shalat dalam keadaan hadats, maka shalatnya tidak sah. Baik hadats kecil maupun hadats besar. Hal tersebut juga dihukumi haram. Cara menghilangkan hadats kecil yaitu dengan wudhu. Sedangkan untuk menghilangkan hadats besar dengan mandi besar. Bisa juga dengan tayamum jika memang dalam keadaan terpaksa. Bagi orang yang sedang mengalami dua hadats dalam keadaan bersamaan, cukup dengan satu kali mandi besar sudah menghilangkan kedua hadats tersebut. Walaupun ketika mandi, orang tersebut tidak berniat melakukan wudhu dan tidak mengurutkan anggota wudhu.[4]

b.      Sucinya Badan, Pakaian, dan Tempat dari Najis
Najis yang dimaksud adalah semua jenis najis, baik mukhaffafah, mutawasitah, ataupun mughaladah. Tidak termasuk najis yang dima’fu. Maka, tidak sah orang yang shalat dalam keadaan terkena najis, walaupun orang tersebut lupa atau tidak tahu. Tidak tahu wujudnya najis, dan tidak tahu bahwa najis itu membatalkan.
c.       Menutup Aurat
         Adapun uarat orang laki-laki  dan wanita amat (budak) yaitu anggota di antara pusar dan kedua lutut. Sedangkan uaratnya wanita merdeka di waktu shalat adalah seluruh anggota badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan, baik luarnya ataupun dalamnya sampai kepada pergelangan. Wajib menutup aurat, baik dalam keadaan sepi atau gelap.[5] Berbeda dengan orang yang tidak mampu untuk menutup aurat, maka baginya tetap wajib melakukan shalat dalam keadaan telanjang tanpa harus mengualang kembali sholatnya, walaupun ada satir (tutup uarat) yang terkena najis. Dinama satir tersebut tidak sempat untuk dibersihkan, bukan satir yang sempat untuk disucikan. Berbeda jika orang tersebut hanya menemukan satir yang bisa menutup sebagian uarat, maka yang wajib ditutup terlebih dahulu adalah dua kemaluannya.[6]
d.      Mengetahui Waktunya Shalat
Mengetahui waktunya shalat baik secara yakin maupun prasangka. Orang yang melakukan shalat, tanpa mengetahui waktunya shalat, maka shalatnya tidak sah, walaupun telah masuk pada waktunya. Berikut penjelasan waktu shalat:[7]
1)        Dhuhur, dinamakan shalat dhuhur karena shalat ini jelas. maksutnya terlihat dilakukan di siang hari. Shalat dhuhur dilakukan dengan empat raka’at. Masuknya waktu shalat dhuhur dimulai dari condongnya matahari dari tengah sedikit ke kearah barat sampai bayangan suatu benda sama dengan bendanya.
2)        Ashar, dinamakan ashar karena shalat ini dilakukan pada waktu ashar atau mendekati mendekati ghurub. Jumlah raka’at dalam shalat ashar adalah empat. Waktu ashar di mulai dari bayangan suatu benda sama dengan bendanya dan posisi matahari berada di sebelah barat, sampai terbenamnya matahari. Dalam melakukan shalat ashar, waktu shalat ashar di bagi menjadi lima waktu;
a)      waktu fadhilah, yaitu dilakukan pada awal waktu;
b)      waktu ikhtiar;
c)      waktu jawaz bikarahah;
d)      waktu jauzah bila karahah;
e)      waktu tahrim, yaitu melakukan shalat di luar waktu yang telah di tetapkan.
3)        Maghrib, shalat magrib dilakukan dengan tiga raka’at. Dinamakan shalat maghrib karena dilakukan pada waktu ghurub. Adapun waktu shalat maghrib dimulai dari terbenamnya  matahari sampai kira-kira cukup untuk melakukan adzan, berwudhu atau tayammum, menutup aurat, dan melakukan shalat kira-kira lima raka’at. Pendapat seperti ini menurut qaul jadid. Sedangkan Imam Nawawi lebih mengunggulkan qaul qadim, yaitu dari  terbenamnya matahari sampai hilangnya  mega merah.
.
4)        Isya, dinamakan dengan shalat isya karena dilakukan pada waktu isya. Shalat isya’ dilakukan dengan empat raka’at. Masuknya waktu isya dimulai dari hilangnya mega merah di ufuk barat, sampai pada terbitnya fajar shadiq. Waktu melakukan shalat isya dibagi menjadi dua.
a)    Waktu ikhtiar, yaitu mulai dari hilangnya mega merah sampai pada sepertiga malam.
b)   waktu jawaz, yaitu dari sepertiga malam, sampai terbitnya fajar shodiq.
Sedangkan menurut syekh Abu Hamid, di dalam waktu isya terdapat waktu makruh. Yaitu waktu yang dilakukan di antara dua fajar, yakni fajar kazib dan fajar shadiq.
5)        Subuh, dinamakan dengan shalat subuh, karena shalat ini dilakukan pada waktu subuh. Shalat subuh dilakukan dengan dua raka’at. Subuh sendiri memiliki makna pagi atau awalnya siang. Subuh memiliki lima waktu, sama seperti shalat ashar.
a)    Waktu Fadilah, yaitu waktu awal. waktu awalnya sholat subuh adalah dari terbitnya fajar shadiq.
b)   waktu ikhtiar, yaitu di mualai dari keluarnya fajar yang kedua, sampa langit mulai terang, maksutnya matahari belum terbit.
c)    waktu jawaz bila karahah, yaitu pada saat langit berwarna kemerah-merahan. yang terlihat sebelum matahari terbit.
d)   waktu jawaz bikarahah, yaitu pada saat matahari hampi terbit.
e)    waktu tahrim, yaitu waktu diluar batas yang di tetapkan.[8]
e.       Menghadap Kiblat
Menghadap Kiblat disini adalah menghadap ke Ka’bah dengan dadanya. Kecuali bagi orang yang tidak mampu. Diantaranya adalah, shalatnya orang yang ketakutan.  Walaupun shalat itu sholat fardu. Maka boleh shalat dengan keadaan yang memungkinkan, seperti dengan berlari, menunggang, menghadap kiblat atau tidak menghadap kiblat. Seperi orang yang berlari karena kebakaran, ada hewan buas, dan ular. Boleh tidak menghadap kiblat, shalat sunnahnya orang yang sedang dalam perjalanan, Walaupun dengan menunggang atau berlari. Wajib bagi orang yang sedang dalam perjalanan menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, karena dianggap mudahnya melakukan kedua hal tersebut.
f.        Mengetahui Fardunya Shalat
Tidak sah shalatnya orang yang tidak tahu dengan kefarduannya shalat,  shalat yang disyariatkan, seperti keterangan dalam kitab Majmu’ dan Raudhah.

B.       Rukun Shalat
Dengan menggabungkan tuma’ninahnya shalat dalam satu rukun, rukunnya shalat dibagi menjadi empat belas, diantaranya sebagai berikut[9]:
1.         Niat
Niat adalah menyengaja melakukan dengan hati . karena suatu hadits “sahnya suatu amal itu dengan niat”. Hal-hal yang wajib diucapkan dalam hati ketika melakukan niat shalat adalah sebagai berikut:
a.    Sengaja melakukan shalat,  supaya membedakan antara shalat dan perbuatan-perbuatan yang lain.
b.    Menentukan shalat yang diniatinya, seperti dhuhur, ashar, atau yang lainya, supaya membedakan dari shalat yang telah ditentukan.
c.    Menyengaja bahwa adanya shalat itu fardu.
Sedangkan menyandarkan niat kepada Allah adalah sunnah. Berbeda dengan imam Al-Adzra’i yang mengatakan wajibnya menyandarkan niat kepada Allah.
2.         Takbiratul Ihram
Takbiratul Ihram dijadikan sebagai pembukaan shalat supaya mushalli bisa menghadirkan maknanya takbir itu sendiri. Yaitu menunjukkan kepada keagungan Tuhan. sehingga orang segera bergegas berkhidmad kepada Tuhan, supaya bisa mencapai kesempuraan baginya sifat haibah dan khusu’. Dalam Takbiratul ihram wajib disertai niat, karena takbiratul ihram adalah permulaan rukun.  Imam Rafi’i membenarkan bahwa “menyertai niat shalat di awal takbir sudah cukup”. Maksutnya niatnya sudah sah. Sedangkan lafazd takbirartul ihram sudah di tentukan, yaitu “Allahu Akbar”. atau “Allahul Akbar[10].
3.         Berdiri Bagi Yang Mampu
Berdiri bagi yang mampu disini adalah untuk shalat fardu. Walaupun shalat yang dinadzari atau diulangi. Baik mampu berdiri sendiri atau degan pertolongan orang lain. Sah bediri dengan meluruskan ruas-ruas tulang punggung, sekalipun dengan menyandarkan diri pada sesuatu yang ia bisa jatuh kalau sesuatu itu tidak ada. Bersandar dihukumi makruh. Berdiri membungkuk yang agak sedikit ruku’ tidak sah, bila ia mampu berdiri tegak.
Bagi orang yang tidak mampu berdiri, boleh shalat dengan duduk. jika tidak mampu dengan duduk boleh dengan tidur miring menghadap ke arah kiblat. Jika tidak mampu tidur miring, boleh dengan terlentang, dengan telapak kaki mengadap kearah kiblat dan di bawahnya kepala wajib dikasih ganjal atau bantal, agar wajahnya bisa menghadap kiblat. Kemudian ruku’ dan sujudnya dengan isarat kepala, jikalau tidak mampu dengan kepala maka dengan pelupuk mata. Jikalau masih tidak mampu dengan pelupuk mata, maka isyarat dengan hati. Tidak ada gugurnya kewajiban shalat bagi seseorang, selama akalnya masih tetap.
4.         Membaca Surat Al-fatihah disetiap Raka’at
Wajib membaca fatihah disetiap raka’at pada saat berdiri, Kecuali raka’atnya orang yang masbuk. Tidak wajib bagi masbuk membaca fatihah sekiranya tidak dapat menemukan fatihahnya imam pada saat bedirinya imam, walau disetiap raka’at. Termasuk dalam surat Al-Fatihah adalah basmalah. Wajib menjaga tasdid-tasdidnya Al-Fatihah, huruf-hurufnya Al-Fatihah, makhraj-makhrajnya Al-fatihah, dan terus-enerusnya bacaan Al-Fatihah. Orang yang ragu-ragu apakah sudah membaca basmalah atau belum di tengah-tengah membaca Al-Fatihah, maka baginya wajib mengulangi Al-Fatihahnya.[11]
5.         Ruku’
Ruku’ adalah membungkukkan badan sekiranya telapak tangan sampai pada lutut, bukan jari-jari. Belum dikatakan rukuk,jika hanya pucuk  jari-jari yang sampai pada lutut.
6.         I’tidal
I’tidal adalah berdiri kembali dari ruku’. Ketika seseorang ragu-ragu dalam menyempurnakan i’tidal, maka wajib dengan segera mengulangi i’tidal. Berbeda dengan makmum, jikalau makmum wajib menggantinya dengan satu raka’at setelah salamnya imam.
7.         Melakukan Dua Sujud
Wajib melakukan dua sujud disetiap satu raka’at. Sujud dilakukan dengan  menyungkur. Yaitu bagian pantat dan sekitarnya berada di posisi yang lebih tinggi dari kepala. Sujud dilakukan dengan meletakkan sebagian keningnya dengan keadaan terbuka. Jika pada keningnya terdapat pembalut, maka sujudnya tidak sah. Kecuali balutan luka yang sulit untuk dilepas, maka sujud dengan keadaan seperti ini sujudnya tetap sah.  
8.         Duduk di Antara Dua Sujud
Tidak boleh memanjangkan duduk atau i’tidal, karena memanjang disini bukan suatu hal yang dimaksud. Akan tetapi, rukuk dan i’tidal berfungsi untuk memisah. Paling lamanya i’tidal adalah kira-kiranya bacaan Al-Fatihah. Sedangkan maksimalnya duduk di antara dua sujud adalah kira-kira bacaan tasyahud. Bagi orang yang memanjangkan i’tidal atau sujud melebihi batas yang ditentukan, padahal ia mengetahui maka sholatnya dihukumi batal.
9.         Tuma’ninah
Tuma’ninah wajib dilakukan disetiap ruku’, melakukan dua sujud, duduk di antara dua sujud, dan i’tidal. Batasan tuma’ninah adalah diamnya anggota badan sekiranya jadi terpisah perpindahan rukun satu ke rukun yang lain.[12]
10.     Membaca Tasyahud Akhir
Paling sedikitnya tasyahud akhir adalah seperti yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Tirmizhi. Yaitu bacaan attahiyah.
11.     Membaca Shalawat kepada Nabi
Paling sedikitnya shalawat adalah “Allahumma shalli ‘ala Muhammad”. Membaca shalawat dilakukan setelah tasyahud akhir.
12.     Duduk Tasyahud Akhir
Duduk tasyahud akhir adalah duduk karena membaca tasyahud akhir, atau karena salam. Sunnah duduk tasyahud akhir dengan duduk tawarak. Duduk tawarak adalah duduknya oraang menjelang salam, berbeda dengan makmum yang masbuk ketika imamnya dalam kedaan tasyahud akhir, maka masbuq dengan duduk iftirasy.
13.     Memaca Salam
Salam yang dimaksud disini adalah salam yang pertama. Paling sedikitnya salam adalah “Assalamualaikum”. Sedangkan mengucapkan dengan “Alaikumus Salam”. Mengucapkan salam dengan “Salamualaikum” Belum mencukupi dalam salamnya shalat. Begitu juga dengan ”salamullah” atau “salamii ‘alaikum”. Bahkan hal ini dapat membatalkan shalat jika dilakukan dengan sengaja dan mengetahui hukumnya.
14.     Tertib
Tertib sesuai dengan rukun-rukun yang telah disebutkan di atas. Orang yang sengaja merusak tertibnya rukun fi’li, seperti mendahulukan sujud sebelum ruku’, maka shalatnya dihukumi batal. sedangkan mendahulukan rukun qauli tidak membahayakan, kecuali salam.[13]




C.      Sunah-Sunah Shalat
1.         Sunah Ab’adh
Sunah ab’adh adalah perkara yang disunahkan dalam shalat, dan apabila meninggalkannya, sunnah melakukan dua sujud sebelum salam. Yaitu yang biasa disebut dengan sujud sahwi.  Dalam besujud sahwi, wajib disertai niat. Yaitu sejak menurunkan badan, hatinya sudahnya berniat mengerjakan sujud sahwi. Sunah ab’adh adalah sabagai berikut:[14]
a.    Tasyahud awal, yaitu bacaan yag wajib dibaca pada saat tasyahud akhir.
b.    Duduk tasyahud awal, dalam meninggalkan duduk tasyahud, sama dengan meninggalkan berdiri pada saat qunut. Ketika seseorang tidak bisa memperbaiki membaca qunut atau tasyahud, dalam keadaan seperti itu, tetap disunahkan diam seukuran membaca tasyahud dan qunut. Dan jika meninggalkan salah satunya, maka disunahkan melakukan sujud sahwi.
c.    Membaca do’a qunut, yaitu qunut ketika shalat subuh dan witir separonya bulan Ramadhan.
d.    Berdiri ketika membaca do’a qunut.
e.    Membaca shalawat kepada Nabi setelah qunut dan tasyahud awal.
f.     Membaca shalawat kepada keluarga Nabi setelah qunut dan tasyahud akhir.
Sujud sahwi dapat dilakukan sebab merasa ragu-ragu terhadap sebagian sunah ab’adh yang telah lewat. Misalnya qunut, sudah melakukan atau belum. Jika seorang munfarid atau imam lupa melakukan sunah ab’adh, misalnya tasyahud awal, atau qunut, sedang mereka telah melakukan fardu, baik seperti berdiri, atau sujud, maka bagi mereka tidak diperkenankan kembali untuk mengulangi sunah ab’adh tersebut. Sebab fardu adalah lebih utama daripada sunah.[15]
2.         Sunah Hai’ah
Sunah hai’ah terbagi menjadi lima belas, diantaranya adalah[16]:
a.         Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram;
b.        Mengangkat kedua tangan  ketika ruku’;
c.         Mengangkat kedua tangan ketika bangun dari ruku’;
d.        Manaruh tangan kanan di atas tangan kiri;
e.         Membaca tawajjuh;
f.          Membaca ta’awudz;
g.        Mengeraskan suara pada waktunya mengeraskan dan mengecilkan suara pada waktunnya mengecilkan suara;
h.        Membaca surat Al-Quran setelah membaca fatihah;
i.          Membaca takbir ketika turun karena ruku’ dan ketika bangun dari ruku’;
j.          Mengucapkan lafadz “sami’Allahu liman hamidah”;
k.        Membaca tasbih ketika ruku dan sujud;
l.           Menaruh kedua tangan di atas kedua paha ketika membaca tasyahud;
m.       Duduk iftirosy di semua waktu duduk;
n.         Duduk tawaru’ di tasyahud akhir;
o.         Membaca salam yang kedua.

D.      Perkara Yang Membatalkan Shalat
1.         Niat memutus shalat, baik shalat fardu atau shalat sunnah, niat memutus shalat membatalkan shalat. Batal bagi orang yang menggantungkannya dengan hasilnya suatu perkara, walaupun perkara itu halal dan sudah menjadi pengadatan.[17]
2.         Merasa ragu bahwa shalatnya telah terputus. Hal seperti ini tidak batal, jikalau menimpa kepada orang yang memang sudah sering was-was dalam shalat dan selain shalat.
3.         Pergerakan yang banyak lebih dari tiga kali gerakan yang terus-menerus. Tidak membatalkan gerakan-gerakan kecil, seperti gerakan jari-jari, dan pelupuk mata.
4.         Berbicara dengan sengaja, walaupun hanya dua huruf secara terus-menerus. Berbeda dengan membaca Al-Quran, dzikir, dan do’a yang tidak bertujuan memberi kepahaman seseorang, hal ini tidak membatalkan shalat.
5.         Masuknya sesuatu ke dalam perut. Sama halnya dengan yang membatalakan puasa. Baik sedikit maupun banyak, makan atau minum tetap membatalkan shalat. Batal juga disebabkan makan yang banyak karena lupa. walaupun hal ini tidak membatalkan puasa. Tidak batal bagi orang yang  tidak tahu atas kaharaman makan dan minum.
6.         Menambah rukun fi’li dengan sengaja. Tidak dalam keadaan bermakmum. misalnya menambah rukun atau sujud, sekalipun tidak dengan tuma’ninah di dalamnya. Termasuk membatalkan shalat adalah seseorang dalam keadaan duduk, kemudian membungkuk sehingga keningnya sejajar dengan depan lulutnya, sekalipun hal itu dilakukan agar dapat duduk tawaruk dan iftirasy, yang kedua-duanya disunahkan. Sebab melakukan perbuatan yang membatalkan shalat itu tidak diampuni adanya demi melakukan perkara yang sunah.
7.         Meyakini atau menyangka bahwa kefarduannya shalat adalah sunnahnya shalat.
8.         Hadats, walaupun dengan tidak sengaja.
9.         Terkena najis yang yang tidak di ma’fu. tidak batal jika seketika langsung di buang.
10.     Terbukanya aurat, kecuali jika terbukanya aurat disebabkan oleh angin lalu dengan seketika langsung ditutup kembali.
11.     Meninggalkan rukun secara sengaja.
12.     Merasa ragu-ragu akan niat takbiratul ihram atau syarat niat itu sendiri, padahal shalat sudah berjalan satu rukun qauli atau fi’li, atau ragu-ragu yang lama melampaui sebagian rukun qauli yang terjadi.[18]





BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Shalat adalah ucapan dan perbuatan yang telah ditentukan, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Shalat wajib bagi setiap muslim yang berakal, baligh, dan suci dari haid dan nifas bagi wanita. Shalat dihukumi sah apabila: 1) orang yang shalat dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun hadats besar; 2) Bersihnya badan, pakaian, dan tempat sholat dari najis; 3) menutup aurat; 4) mengetahui masuknya waktu shalat; 5) menghadap kiblat; 6) mengetahui kefarduannya shalat; kefarduan shalat dinamakan dengan rukun shalat. Rukun shalat diantaranya adalah sebagai berikut: 1) niat; 2) Takbiratul Ihram; 3) Berdiri Bagi Yang Mampu; 4) Membaca Surat Al-fatihah disetiap Raka’at; 5) Ruku’; 6) I’tidal; 7) Melakukan Dua Sujud; 8) Duduk di Antara Dua Sujud; 9)Tuma’ninah; 10) Membaca Tasyahud Akhir; 11) Membaca Shalawat kepada Nabi; 12) Duduk Tasyahud Akhir; 13) Memaca Salam; 14) Tertib.

B.       Kritik Dan Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang.



[1] Muhammad bin Qasim Al-Ghozi As-Syafi’i, Fathu Al-Qarib Al-Mujib (Ibnu Sholihin:Rembang), hal. 18
[2] Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiah Al-Bajuri Ala Ibnu Qasim Al-Ghozi  juz awal (Al-Haromain:Surabaya), hal. 129
[3] Ibid, hal. 129
[4] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in Bisarkhi Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmah Ad-Din (Dar AL-Kotob Al-Ilmiyah: beirut, 2013), hal. 18
[5] Muhammad bin Qasim Al-Ghozi As-Syafi’i, Fathu Al-Qarib Al-Mujib (Ibnu Sholihin:Rembang), hal. 20
[6] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in Bisarkhi Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmah Ad-Din (Dar AL-Kotob Al-Ilmiyah: beirut, 2013), hal. 24
[7] Muhammad bin Qasim Al-Ghozi As-Syafi’i, Fathu Al-Qarib, hal. 18-19
[8] Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiah Al-Bajuri Ala Ibnu Qasim Al-Ghozi  juz awal (Al-Haromain:Surabaya, 2009), hal. 120-129
[9] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 26
[10] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 27
[11] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 29
[12] Ibid, hal. 36
[13] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 38
[14] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 41
[15]Ibid, hal. 41
[16] Muhammad bin Qasim Al-Ghozi As-Syafi’i, Fathu Al-Qarib, hal. 23
[17] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 44
[18] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 46