gamisaljamilah.com

Jumat, 06 April 2018

JURNAL, BAHASA INDONESIA, BAHASA JAWA MENUMBUHKAN KARAKTER SESEORANG MENJADI PRIBADI YANG LEBIH SOPAN


BAHASA JAWA MENUMBUHKAN KARAKTER SESEORANG MENJADI PRIBADI YANG LEBIH SOPAN

Noor ‘Ilma Tamalia Rofiqoh
Bahasa dan Sastra Arab
Abstrak
Penelitian ini mempelajari jenis kata berdasarkan kategori gramatikal (verba, nomina dan sebagainya) dan berdasarkan wujud formal (wujud sederhana, wujud reduplikasi, dan wujud kombinasi). Penelitian ini juga mempelajari jenis kata berdasarkan konteks komunikasi, yaitu yang ditentukan oleh sifat hubungan antara pembicara dan pendengarnya. Penelitian ini juga mempelajari jenis kata bahasa jawa berdasarkan pengaruh bahasa lain terhadapnya. Bahasa Jawa sudah tidak asing dikalangan masyarakat umum. Bahasa Jawa sering digunakan untuk menunjukan kesopanan antar orang yang muda dengan yang lebih tua. Dalam penelitian ini akan menjelaskan tentang fenom, ejaan, dan fonotaktik Bahasa Jawa. Sistem fenom bahasa Jawa  tidak mencakup diftong, yang kehadirannya merupakan pinjaman dari bahasa lain. Dalam kesempatan kali ini saya mengambil judul ini karena bahasa merupakan alat komunikasi dalam pergaulan sehari-hari. Ketika seseorang berbicara selain memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa, juga masih harus memperhatikan siapa yang diajak berbicara. Berbicara kepada orang tua berbeda dengan berbicara pada anak kecil atau yang seumuran. Kata-kata atau bahasa yang ditunjukan pada orang lain itulah yang disebut: unggah-ungguhing basa. Unggah-ungguhing basa pada dasarnya dibagi menjadi tiga: Basa Ngoko, Basa Madya, dan Basa Krama. Selain yang disebut di atas orang-orang di istana/kedhaton menggunakan Bahasa Kedahaton atau yang sering disebut Basa Bagongan. Ungah-ungguhing basa merupakan alat untuk menciptakan jarak sosial, namun di sisi lain unggah-ungguhin basa juga merupakan produk dari kehidupan sosial. Hal ini dapat dijelaskan bahwa struktur masyarakat merupakan faktor pembentuk dari struktur bahasa. Atau dapat juga dikatakan struktur bahasa merupakan pantulan dari struktur masyarakat. Struktur bahasa yang mengenal unggah ungghing basa merupakan pantulan dari struktur masyarakat yang mengenal tingkatan-tingkatan sosial atau straifikasi sosial. Makin sulit unggah-ungguhing basa, pasti makin rumit juga stratifikasi sosialnya.  




Kata Kunci : Bahasa Jawa, Kepribadian, Sopan

Pendahuluan
            Bahasa Jawa oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Penutur asli bahasa Jawa tidak saja menghuni sebagian besar Pulau Jawa, tetapi juga tersebar di seluruh Indonesia. Penyebaran ini diduga telah berjalan cukup lama walaupun akhir-akhir ini program nasional transmigrasi secara dominan tampak makin ditinggalkan.
            Berdasarkan pengamatan dan pengalaman sehari-hari, yang dikukuhkan melalui penelitian tersendiri, dapat dibentuk anggapan dasar lain juga dapat dibentuk berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang sama bahwa dalam menggunakan bahasa nasional, sebagian besar penutur asli bahasa Jawa di sana-sini menyelipkan kata atau wujud lain bahasa Jawa ke dalam bahasa nasional. Keadaan sebaliknya pun terjadi penyelipan kata bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa, kenyataannya, penyebaran penutur asli bahasa Jawa dan pergaulan pengaruh timbal balik juga terjadi antara bahasa Jawa dan bahasa-bahasa lain di Indonesia. Pemberian tentang keadaan ini tidak saja bermanfaat bagi pengembangan ilmu bahasa (linguistik) Indonesia dan pemahaman arah perkembangan bahasa Jawa dan bahasa nasional, tetapi juga bermanfaat apabila dilakukan penelitian kosa kata ini.
            Telaah tentang bahasa Jawa bukan lagi merupakan barang baru karena sebagian besar sudah ditulis dalam bahsa asing. Sejumlah telaah itu, sebelum Perang Dunia II ditulis dalam bahasa asing. Telaah tentang bahsa jawa yang ditulis dalam bahasa Indonesia makin meningkatk jumlahnya, tetapi tiada satu pun secara khusus menangani kosa kata. Telaah yang mendalam tentang bahasa Jawa, yang ditulis oleh ahli linguistik Jawa dansebelumnya ditulis dalam berbagai bahasa asing, sekarang telaah ada dalam bahasa Indonesia.[1]
            Kepribadian didefinisikan berdasarkan konsep-konsep khusus yang terkandung dalam teori tertentu yang dianggap memadai untuk mendeskripsikan atau memahami tingkah laku manusia secara lengkap atau utuh. Kita sejauh ini telah sepakat bahwa suatu teori terdiri segugusan asumsi yang saling berhubungan tentang gejala-gejala empiris tertentu, dan definisi empiris-empiris yang memungkinkan si pemkai dari teori abstrak ke obsevarsi empiris. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa teori kepribadian harus merupakan segugusan asumsi tentang tingkah laku manusia beserta definisi empiris-empirisnya.[2]
Fenom, Ejaan, dan Fonotatik[3]
            Sistem fenom bahasa jawa tidak mencakup diftong. Yang kehadirannya merupakan pinjaman dari bahasa lain.
            Dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan (1972), tidak terdapat pilah (distrinction) antara e dalam bebek, e dalam kata enak, dan e dalam kata sebar, walaupun secara fonemik terdapat pilah diantara palig tidak dua pelambangan itu ejaan Bahasa Jawa dalam huruf Latin didasarkan pada Pedoman Umum Bahasa Indonesia yang disempurnakan, dengan penyesuaian seperti diatas karena terdapat pilah antara e dalam saren ‘sedih’ (seperti e dalam bebek), e dalam enggal ‘segera’, baru (seperti e dalam enak), dan weling ‘pesan, nama ular’ (seperti e dalam besar)
            Fonotatik adalah kaidah yang berlaku (biasanya secara khas pada setiap bahasa), yang mengatur penjajaran tanpa diselingi jeda dua fenom atau lebih dan juga posisi fenom di awal ujaran sesudah jeda. Serta di akhir tujuan sebelum jeda.
            Konsonan /b/, /d/, /g/, /c/, /j/, /t/, /g/, /n/, /y/ dan /w/ tidak terdapat pada posisi akhir ujaran sebelum jeda. Dalam ejaan terdapat /b/,/d/,, dan /g/ pada posisi akhir sebelum jeda.
            Contoh: abab ‘udara napas’ , abad ‘abad’, dan grobag ‘gerobag’. Dengan kata lain walaupun secara fonemik dan juga fonetik yang terdapat pada posisi itu unsurnya tidak bersuara, yaitu /p/, /t/, dan /k/, tetapi dalam ejaan ditulis dengan unsur bersuara. Konsonan-kosonan lainnya dapat menduduki posisi akhir ujaran sebelum jeda.
            Vokal dengan lambang ejaan e dan voka dengan lambang ejaan e tidak terdapat pada posisi akhir ujaran sebelum jeda. Vokal-vokal lain terdapat pada posisi alhir ujaran sebelum jeda. Vokal-vokal lain terdapat pada posisi akhir ujaran sebelum jeda, dengan catatan bahwa vokal dengan lambang ejaan a pada posisi ini hanya terdapat pada satu kata Jawa ora ‘tidak’ dan nama-nama Jakarta, Alisyahbana dan Honda. Penjelasan orang lain bahwa a juga terdapat dalam kata mboya ‘tidak’, tidak dibuktikan dalam data penelitian kami.
            Konsonan bahasa jawa dapat membentuk rumpun (cluster) yang merangkai suatu silabe. Namun, rumpun konsonan bahasa jawa tidak pernah terjadi pada posisi akhir ujaran sebelum jeda.
Dalam posisi awal ujaran sesudah jeda, fonotaktik rumpun konsonan dapat dirumuskan dengan lambang fonemik sebagai berikut. (keterangan tanda – kecuali, tanda + = membentuk rumpun dengan, Nhom+nasal homorganik). 1) Konsonan - /l/, /r/, /y/, /q/, /h/ +r, 2) Konsonan - /l/, /r/, /y/, /q/, /h/,/t/, /d/ +l, 3) /p/, /b/, /m/, /k/, /n/, +y, 4) /t/, /d/, /c/, /j/, /n/, /k/, /s/, +w, 5) Nhom + /b/, /d/, /d/, /j/, /g/

Contoh (dalam ejaan) :
a.        
1
Mrusuh
Berbuih, putih
2
Praja
Harga diri, negara
3
Brambang
Bawang merah
4
Nrajang
Meanggar
5
Tratab
Debar
6
Driya
Hati, batin
7
Thrutuk
Berjaan perahan-lahan (untuk kereta api)
8
Srabi
Serabi
9
Wruju
Bungsu (termuda)
10
Grayah
Raba (dalam kegelapan)

b.       
1
Mlangkah
Melangkah
2
Plonthos
Botak
3
Nlarak
Daun keapa
4
Nladhung
Menyerang (ayam)
5
Tlale
Belalai
6
Dlima
Delima
7
Cimen
Kecil-kecilan, sederhana
8
Jlumat
menjahit
9
Kluwak
Kluak
10
Glali
Gula-gula

Urutan yang terdiri dari dua atau tiga buah konsonan dapat terjadi secara antarvoal (di antara dua vokal tanpa jeda). Urutan dua konsonan dalam posisi ini dapat dan juga tidak dapat membentuk rumpun. Dua unsur terakhir pada urutan tiga konsonan dalam posisi ini selalu membentuk rumpun, yang menjadi kerangka silabe berikutnya. Rumpun seperti ini hanya berasal dari a) b), c)
Contoh :
Ambruk
roboh
Gamblang
Sangat jelas
Ambyar
Terjun
Untuk urutan dua konsonan pada posisi antarvokal, perilaku selanjutnya inikami temukan sebagai berikut.
1)      Apabila urutan itu sesuai dengan apa yang terdapat pada jenis rumpun a), b), c) dan d), secara fungsional urutan itu merupakan rumpun dan menjadi kerangka sillabe berikutnya.
Contoh :
Abyar
Berkilatan
Kupluk
Peci
Pasrah
Menyerah

2)      Urutan lain membentuk kerangka dua silabe, yaitu konsonan pertama ikut silabe sebelumnya; konsonan kedua ikut silabe sesudahnya.
Contoh :
Kembang  
Bunga
Warna
Warna
Sakkal
Seketika
Lembur
Genderang

Jenis Kata
            Data penelitian ini adalah bahasa yang dipakai dalam situasi nyata dan bukannya yang dielisitasi tanpa konteks; sebagaimana lazim dilakukan dalam penelitian dengan cara pendekatan linguistik strukturalatau TTG. Kami berpendapat bahwa bahasa sebagai ungkapan dunia arti ke lambang ujaran, adalah bagian internal dan tidak lepas dari masyarakat dan kebudayaannya.
            Penelitian yang kami lakukan makin memperkuat pendapat kami bahwa bahasa hanya dapat dipahami (dipelajari dan diteliti) dalam posisi asli dan alamiahnya. Kami berpendapat juga bahwa satuan anaisis penelitian bahasa adalah satuan dalam konteks. Jadi, satuan analisis penelitian bahasa adalah satuan konteks, walaupun kami pasti yakin bahwa hal itu tidak dapat membutuhkan penginderaan terhadap wujud formal data kami (apalagi kami adalah penutur asli bahasa yang diteliti itu); pegangan teoritik, yaitu semantik. Kami manfaatkan hal itu untuk membimbing kami dalam penjenisan kata semata-mata bukan karena wujud formalnya, tetapi justru arti yang diungkapkannya dalam konteks yang lebih luas. Secara linear, konteks ini adalah frase, klausa, kalimat, paragraf, bab, wacana, dan bahasa secara keseluruhan. Secara nonlinear, konteks adalah pemahaman arti yang lebih luas, yaitu yang menyangkut lingkungan arti peristiwa bahasa itu. Bahkan, lingkungan dunia arti secara keseluruhan, yang jauh lebih luas dari arti kata itu sendiri.
            Dalam proses penyusunan, dalam arti yang begitu luas dan tidak berbentuk itu diseleksi dan hasilnya ditentukan berdasarkan satuan-satuan semantik yang lebih terbatas dan yang menurut Chafe (1970) secara logik dianggap semesta. Di antara satuan-satuan semantikini, yang paling penting ada dua, yaitu satuan seleksional dan satuan leksikal.
            Satuan seleksional menentukan, apakah suatu arti akan dikualfikasi sebagai verba, nomina, adjektiv, dan adverba. Satuan leksikal bersifat spesifik maksimal. Sifat ini berupa beban informasi maksimal yang diberikan terhadap produk seleksi tadi. Jadi, satuan seleksional yang telah menentukan beberapa arti menjadi kategori nomina, verba, dan nomina, misalnya, akan menghasilkan produk yang akan dibebani informasi maksimal oleh satuan leksikal menjadi, misalnya pula, Karyo tuku lengo ‘Karyo membeli minyak.’
            Satuan seleksional dan satuan leksikal dan satuan leksikal yang semesta ini ternyata tidak memadai bagi pembentukan ujaran bahasa jawa karena satuan-satuan itu ternyata tidak menjangkau wilayah konteks, yaitu pemakaian bahasa dalam keadaan nyata. Contoh kalimat Karyo tuku lenga ‘Karyo membeli minyak’ memang tidak saja betul secara secara gramatikal, tetapi juga secara komunikatif. Namun, derajat kebetulan itu berbeda, yaitu secara gramatikal kalimat itu betul 100%, sedangkan secara komunikatif ia hanya sebagian saja betul. Kalimat itu tidak dapat dipakai terhadap sembarangan orang dalam sebarang keadaan.
            Bahasa Jawa mengenal Karyo tumbas lenga dan Karyo tumbas lisah dengan arti yang sama, seperti dalam Karyo tuku lenga. Ini terjadi karena hadirnya jenis hubungan antara pembicara dan pendengar atau penulis dan pembaca. Jenis hubungan ini mengharuskan pemilihan penggunaan Karyo tumbas lengo, Karyo tumbas lisah, yang tidak boleh secara komunikatif, yang memberi muatan informasi komunikatif secara selektif kepada produk dari proses berlakunya satuan seleksional dan satuan leksikal.
            Contoh, kata adek ‘diri’ adalah kata bewujud sederhana. Kata ngadek ‘berdiri’ bukan lagi kata berwujud sederhana, tetapi kata berwujud komposisi. Hal itu disebabkan oleh adanya satuan leksikal tambahan, yang memberi beban informasi maksimal; yaitu ‘kegiatan ragawi dengan kaki (atau yang dianggap mirip dengan itu)’, yang diungkapkan oleh prefiks ng-.
            Kata terwujud komposisi adalah kata bewujud sederhana yang mengalami proses perpanjangan dengan afiksasi, reduplikasi, atau kombinasi. Afiksasi diungkapkan oleh prefiks, sufiks, infiks, atau sirkumfiks.
            Reduplikasi secara umum diperinci menjadi dua macam, yaitu reduplikasi silabe pertama suatu kata dan reduplikasi seluruh kata. Dalam reduplikasi dapat terjadi perubahan wujud fonemik bagian tertentu pada wujud kata. Kombinasi terdiri dari dua macam, yaitu kombinasi antara kata-kata sederhana atau komposisi yang berkaitan dengan leksikalnya, yaitu berkaitan artinya, dan kombinasi antara kata-kata –sederhana atau komposisi- yang tidak berkaitan dengan satuan leksikalnya.
Adab Berbahasa Sehari-Hari[4]
Nuwun Sewu (Permisis, Maaf)
A
Nuwun sewu! Kula badhe nyuwun pirsa pundi inggih dalemipun Pak Bejo?
Permisi! Saya mohon tanya di mana ya rumah Bapak Bejo?
B
Oh lha punika. Daleminpun Bapak Bejo ingkang majeng mengidul sacaketipun kantor kelurahan.
Oh lha itu. Rumah Pak Bejo adalah yang menghadap ke seleatan di sebelah kantor kelurahan
A
Kinten-kinten Bapak wonten dalem mboten nggeh?
Kira-kira Bapak ada di rumah tidak a?
B
Pangapunten. Kadosipun jam-jam semanten Bapak saweg ngunjuk kopi ing ngajengan. Cobi kemawon tindak mrika.
Maaf saya kurang tahu. Biasanya, pada jam-jam seperti ini Bapak sedang minum kopi di beranda. Coba saja ke sana.
A
Oh nggih, matur nuwun.
Oh ya terima kasih.

Konteks Komunikasi
            Apabila bahasa dipakai dalam wujud tulisan atau lisan, pastilah melihatkan pengungkap dan penerima. Pada umumnya, pengungkap sering juga disebut pembicara, penulis, dan pemancar berbeda identitasnya dengan identitas penerima, pendengar, dan pembaca. Dalam mengudarasa, monolog atau soliloquy, pengungkap dan penerima ini, sebagaimana halnya dalam peristiwa antar hubungan sosial lain, menumbuhkan adanya hubungan antara pengungkap dan penerima. Hubungan ini adalah konteks komunikasi.
            Dalam bahasa Jawa, konteks ini tidak sama dalam setiap peristiwa bahasa. Konteks yang tidak sama itu pada umumnya tidak mempengaruhi wujud kata yang dipakai dalam peristiwa bahasa itu. Namun, dalam hal itu ia mempengaruhi wujud kata, yang jumlahnya sangat sedikit dibandigkan dengan keseluruhan kosa kata Jawa, pengaruh itu mendikte pemilihan dan penggunaan kata dengan tepat. Dengan kata lain, dalam bahasa Jawa terdapat kata-kata yang peka terhadap konteks (PK), dan sebagian besar kata-kata bersifat netral (Net) terhadap konteks. Konteks ini pada dasarnya mengungkap sifat hubungan antara pengungkap bahasa dan penerima bahasa. Penelitian ini menemukan adanya tiga jenis konteks dasar, yaitu konteks K – A, konteks S-L dan konteks P-D. dasar pemikirannya adalah bahwa pada setiap peristiwa bahasa tumbuh suatu hubungan antara pengungkap dan penerima bahasa. Dilihat dari sudut pengungkap, untuk penerima ditentukan lebih dahulu parameter sapaan peonominal sebagai pembatas (dan judul jenis hubungan itu). Apabila untuk penerima ditentukan judul sapaan X, maka tidak saja diperlukan penentuan judul sapaan Y bagi pengungkap bahasa, tetapi juga hubungan X-Y antaranya.
            Berdasarkan adanya sebagian besar kata yang netral (Net) terhadap konteks komunikasi dan juga adanya sejumlah kecil kata yang peka terhadap konteks komunikasi (PK).

Penutup
Sistem fenom bahasa jawa tidak mencakup diftong. Yang kehadirannya merupakan pinjaman dari bahasa lain. Dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan (1972), tidak terdapat pilah (distrinction) antara e dalam bebek, e dalam kata enak, dan e dalam kata sebar, walaupun secara fonemik terdapat pilah diantara palig tidak dua pelambangan itu ejaan Bahasa Jawa dalam huruf Latin didasarkan pada Pedoman Umum Bahasa Indonesia yang disempurnakan. Fonotatik adalah kaidah yang berlaku (biasanya secara khas pada setiap bahasa), yang mengatur penjajaran tanpa diselingi jeda dua fenom atau lebih dan juga posisi fenom di awal ujaran sesudah jeda.
Apabila bahasa dipakai dalam wujud tulisan atau lisan, pastilah melihatkan pengungkap dan penerima. Pada umumnya, pengungkap sering juga disebut pembicara, penulis, dan pemancar berbeda identitasnya dengan identitas penerima, pendengar, dan pembaca. Dalam mengudarasa, monolog atau soliloquy, pengungkap dan penerima ini, sebagaimana halnya dalam peristiwa antar hubungan sosial lain, menumbuhkan adanya hubungan antara pengungkap dan penerima. Hubungan ini adalah konteks komunikasi.




[1] Purwadi, Belajar Praktis Bahasa Jawa (Solo: Leres Press, 2006), h.103
[2] Toni Setiawan, David S., Bahasa Tubuh Supermudah (Yogyakarta: Image Press, 2008) h.7
[3] Herawati, Dirgo Sabariyanto, Sumardi, Praptomo Baryadi Isodarus, Nomina, Promina, dan Numeralia dalam bahasa Jawa (Jakarta: Pusat Ppembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995), h.11
[4] Purwadi, Belajar Praktis Bahasa Jawa (Solo: Leres Press, 2006), h.7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar