BAHASA JAWA MENUMBUHKAN KARAKTER SESEORANG MENJADI PRIBADI YANG
LEBIH SOPAN
Noor ‘Ilma
Tamalia Rofiqoh
Bahasa dan
Sastra Arab
Abstrak
Penelitian ini mempelajari jenis
kata berdasarkan kategori gramatikal (verba, nomina dan sebagainya) dan
berdasarkan wujud formal (wujud sederhana, wujud reduplikasi, dan wujud
kombinasi). Penelitian ini juga mempelajari jenis kata berdasarkan konteks
komunikasi, yaitu yang ditentukan oleh sifat hubungan antara pembicara dan
pendengarnya. Penelitian ini juga mempelajari jenis kata bahasa jawa
berdasarkan pengaruh bahasa lain terhadapnya. Bahasa Jawa sudah tidak asing
dikalangan masyarakat umum. Bahasa Jawa sering digunakan untuk menunjukan
kesopanan antar orang yang muda dengan yang lebih tua. Dalam penelitian ini
akan menjelaskan tentang fenom, ejaan, dan fonotaktik Bahasa Jawa. Sistem fenom
bahasa Jawa tidak mencakup diftong, yang
kehadirannya merupakan pinjaman dari bahasa lain. Dalam kesempatan kali ini
saya mengambil judul ini karena bahasa merupakan alat komunikasi dalam
pergaulan sehari-hari. Ketika seseorang berbicara selain memperhatikan
kaidah-kaidah tata bahasa, juga masih harus memperhatikan siapa yang diajak
berbicara. Berbicara kepada orang tua berbeda dengan berbicara pada anak kecil
atau yang seumuran. Kata-kata atau bahasa yang ditunjukan pada orang lain
itulah yang disebut: unggah-ungguhing basa. Unggah-ungguhing basa pada
dasarnya dibagi menjadi tiga: Basa Ngoko, Basa Madya, dan Basa Krama. Selain
yang disebut di atas orang-orang di istana/kedhaton menggunakan Bahasa
Kedahaton atau yang sering disebut Basa Bagongan. Ungah-ungguhing basa
merupakan alat untuk menciptakan jarak sosial, namun di sisi lain
unggah-ungguhin basa juga merupakan produk dari kehidupan sosial. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa struktur masyarakat merupakan faktor pembentuk dari struktur
bahasa. Atau dapat juga dikatakan struktur bahasa merupakan pantulan dari
struktur masyarakat. Struktur bahasa yang mengenal unggah ungghing basa
merupakan pantulan dari struktur masyarakat yang mengenal tingkatan-tingkatan
sosial atau straifikasi sosial. Makin sulit unggah-ungguhing basa, pasti makin
rumit juga stratifikasi sosialnya.
Kata Kunci :
Bahasa Jawa, Kepribadian, Sopan
Pendahuluan
Bahasa Jawa oleh
sebagian besar penduduk Indonesia. Penutur asli bahasa Jawa tidak saja menghuni
sebagian besar Pulau Jawa, tetapi juga tersebar di seluruh Indonesia. Penyebaran
ini diduga telah berjalan cukup lama walaupun akhir-akhir ini program nasional
transmigrasi secara dominan tampak makin ditinggalkan.
Berdasarkan
pengamatan dan pengalaman sehari-hari, yang dikukuhkan melalui penelitian
tersendiri, dapat dibentuk anggapan dasar lain juga dapat dibentuk berdasarkan
pengamatan dan pengalaman yang sama bahwa dalam menggunakan bahasa nasional,
sebagian besar penutur asli bahasa Jawa di sana-sini menyelipkan kata atau
wujud lain bahasa Jawa ke dalam bahasa nasional. Keadaan sebaliknya pun terjadi
penyelipan kata bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa, kenyataannya, penyebaran
penutur asli bahasa Jawa dan pergaulan pengaruh timbal balik juga terjadi
antara bahasa Jawa dan bahasa-bahasa lain di Indonesia. Pemberian tentang keadaan
ini tidak saja bermanfaat bagi pengembangan ilmu bahasa (linguistik) Indonesia
dan pemahaman arah perkembangan bahasa Jawa dan bahasa nasional, tetapi juga
bermanfaat apabila dilakukan penelitian kosa kata ini.
Telaah tentang
bahasa Jawa bukan lagi merupakan barang baru karena sebagian besar sudah
ditulis dalam bahsa asing. Sejumlah telaah itu, sebelum Perang Dunia II ditulis
dalam bahasa asing. Telaah tentang bahsa jawa yang ditulis dalam bahasa
Indonesia makin meningkatk jumlahnya, tetapi tiada satu pun secara khusus
menangani kosa kata. Telaah yang mendalam tentang bahasa Jawa, yang ditulis
oleh ahli linguistik Jawa dansebelumnya ditulis dalam berbagai bahasa asing,
sekarang telaah ada dalam bahasa Indonesia.[1]
Kepribadian
didefinisikan berdasarkan konsep-konsep khusus yang terkandung dalam teori
tertentu yang dianggap memadai untuk mendeskripsikan atau memahami tingkah laku
manusia secara lengkap atau utuh. Kita sejauh ini telah sepakat bahwa suatu
teori terdiri segugusan asumsi yang saling berhubungan tentang gejala-gejala
empiris tertentu, dan definisi empiris-empiris yang memungkinkan si pemkai dari
teori abstrak ke obsevarsi empiris. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa teori
kepribadian harus merupakan segugusan asumsi tentang tingkah laku manusia beserta
definisi empiris-empirisnya.[2]
Fenom, Ejaan, dan Fonotatik[3]
Sistem fenom bahasa jawa tidak mencakup diftong. Yang kehadirannya
merupakan pinjaman dari bahasa lain.
Dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
disempurnakan (1972), tidak terdapat pilah (distrinction) antara e dalam bebek,
e dalam kata enak, dan e dalam kata sebar, walaupun secara fonemik terdapat
pilah diantara palig tidak dua pelambangan itu ejaan Bahasa Jawa dalam huruf
Latin didasarkan pada Pedoman Umum Bahasa Indonesia yang disempurnakan, dengan
penyesuaian seperti diatas karena terdapat pilah antara e dalam saren ‘sedih’
(seperti e dalam bebek), e dalam enggal ‘segera’, baru (seperti e dalam enak),
dan weling ‘pesan, nama ular’ (seperti e dalam besar)
Fonotatik adalah
kaidah yang berlaku (biasanya secara khas pada setiap bahasa), yang mengatur
penjajaran tanpa diselingi jeda dua fenom atau lebih dan juga posisi fenom di
awal ujaran sesudah jeda. Serta di akhir tujuan sebelum jeda.
Konsonan /b/, /d/,
/g/, /c/, /j/, /t/, /g/, /n/, /y/ dan /w/ tidak terdapat pada posisi akhir
ujaran sebelum jeda. Dalam ejaan terdapat /b/,/d/,, dan /g/ pada posisi akhir
sebelum jeda.
Contoh: abab
‘udara napas’ , abad ‘abad’, dan grobag ‘gerobag’. Dengan kata lain walaupun
secara fonemik dan juga fonetik yang terdapat pada posisi itu unsurnya tidak
bersuara, yaitu /p/, /t/, dan /k/, tetapi dalam ejaan ditulis dengan unsur
bersuara. Konsonan-kosonan lainnya dapat menduduki posisi akhir ujaran sebelum
jeda.
Vokal dengan
lambang ejaan e dan voka dengan lambang ejaan e tidak terdapat pada posisi
akhir ujaran sebelum jeda. Vokal-vokal lain terdapat pada posisi alhir ujaran
sebelum jeda. Vokal-vokal lain terdapat pada posisi akhir ujaran sebelum jeda,
dengan catatan bahwa vokal dengan lambang ejaan a pada posisi ini hanya
terdapat pada satu kata Jawa ora ‘tidak’ dan nama-nama Jakarta, Alisyahbana dan
Honda. Penjelasan orang lain bahwa a juga terdapat dalam kata mboya
‘tidak’, tidak dibuktikan dalam data penelitian kami.
Konsonan bahasa
jawa dapat membentuk rumpun (cluster) yang merangkai suatu silabe. Namun,
rumpun konsonan bahasa jawa tidak pernah terjadi pada posisi akhir ujaran
sebelum jeda.
Dalam posisi awal ujaran sesudah jeda, fonotaktik rumpun konsonan
dapat dirumuskan dengan lambang fonemik sebagai berikut. (keterangan tanda –
kecuali, tanda + = membentuk rumpun dengan, Nhom+nasal homorganik). 1) Konsonan - /l/, /r/, /y/, /q/, /h/ +r, 2)
Konsonan - /l/, /r/, /y/, /q/, /h/,/t/, /d/ +l, 3) /p/, /b/, /m/, /k/, /n/, +y,
4) /t/, /d/, /c/, /j/, /n/, /k/, /s/, +w, 5) Nhom + /b/, /d/, /d/, /j/, /g/
Contoh (dalam ejaan) :
a.
1
|
Mrusuh
|
Berbuih, putih
|
2
|
Praja
|
Harga diri, negara
|
3
|
Brambang
|
Bawang merah
|
4
|
Nrajang
|
Meanggar
|
5
|
Tratab
|
Debar
|
6
|
Driya
|
Hati, batin
|
7
|
Thrutuk
|
Berjaan perahan-lahan (untuk kereta api)
|
8
|
Srabi
|
Serabi
|
9
|
Wruju
|
Bungsu (termuda)
|
10
|
Grayah
|
Raba (dalam kegelapan)
|
b.
1
|
Mlangkah
|
Melangkah
|
2
|
Plonthos
|
Botak
|
3
|
Nlarak
|
Daun keapa
|
4
|
Nladhung
|
Menyerang (ayam)
|
5
|
Tlale
|
Belalai
|
6
|
Dlima
|
Delima
|
7
|
Cimen
|
Kecil-kecilan, sederhana
|
8
|
Jlumat
|
menjahit
|
9
|
Kluwak
|
Kluak
|
10
|
Glali
|
Gula-gula
|
Urutan yang terdiri dari dua atau tiga buah konsonan dapat terjadi
secara antarvoal (di antara dua vokal tanpa jeda). Urutan dua konsonan dalam
posisi ini dapat dan juga tidak dapat membentuk rumpun. Dua unsur terakhir pada
urutan tiga konsonan dalam posisi ini selalu membentuk rumpun, yang menjadi
kerangka silabe berikutnya. Rumpun seperti ini hanya berasal dari a) b), c)
Contoh :
Ambruk
|
roboh
|
Gamblang
|
Sangat jelas
|
Ambyar
|
Terjun
|
Untuk urutan dua konsonan pada posisi antarvokal, perilaku
selanjutnya inikami temukan sebagai berikut.
1)
Apabila urutan itu sesuai dengan apa yang terdapat pada jenis rumpun a), b), c)
dan d), secara fungsional urutan itu merupakan rumpun dan menjadi kerangka
sillabe berikutnya.
Contoh :
Abyar
|
Berkilatan
|
Kupluk
|
Peci
|
Pasrah
|
Menyerah
|
2)
Urutan lain membentuk kerangka dua silabe,
yaitu konsonan pertama ikut silabe sebelumnya; konsonan kedua ikut silabe
sesudahnya.
Contoh :
Kembang
|
Bunga
|
Warna
|
Warna
|
Sakkal
|
Seketika
|
Lembur
|
Genderang
|
Jenis Kata
Data
penelitian ini adalah bahasa yang dipakai dalam situasi nyata dan bukannya yang
dielisitasi tanpa konteks; sebagaimana lazim dilakukan dalam penelitian dengan cara
pendekatan linguistik strukturalatau TTG. Kami berpendapat bahwa bahasa sebagai
ungkapan dunia arti ke lambang ujaran, adalah bagian internal dan tidak lepas
dari masyarakat dan kebudayaannya.
Penelitian
yang kami lakukan makin memperkuat pendapat kami bahwa bahasa hanya dapat
dipahami (dipelajari dan diteliti) dalam posisi asli dan alamiahnya. Kami
berpendapat juga bahwa satuan anaisis penelitian bahasa adalah satuan dalam
konteks. Jadi, satuan analisis penelitian bahasa adalah satuan konteks,
walaupun kami pasti yakin bahwa hal itu tidak dapat membutuhkan penginderaan
terhadap wujud formal data kami (apalagi kami adalah penutur asli bahasa yang
diteliti itu); pegangan teoritik, yaitu semantik. Kami manfaatkan hal itu untuk
membimbing kami dalam penjenisan kata semata-mata bukan karena wujud formalnya,
tetapi justru arti yang diungkapkannya dalam konteks yang lebih luas. Secara
linear, konteks ini adalah frase, klausa, kalimat, paragraf, bab, wacana, dan
bahasa secara keseluruhan. Secara nonlinear, konteks adalah pemahaman arti yang lebih luas, yaitu yang menyangkut lingkungan arti
peristiwa bahasa itu. Bahkan, lingkungan dunia arti secara keseluruhan, yang
jauh lebih luas dari arti kata itu sendiri.
Dalam proses
penyusunan, dalam arti yang begitu luas dan tidak berbentuk itu diseleksi dan
hasilnya ditentukan berdasarkan satuan-satuan semantik yang lebih terbatas dan
yang menurut Chafe (1970) secara logik dianggap semesta. Di antara
satuan-satuan semantikini, yang paling penting ada dua, yaitu satuan
seleksional dan satuan leksikal.
Satuan seleksional
menentukan, apakah suatu arti akan dikualfikasi sebagai verba, nomina,
adjektiv, dan adverba. Satuan leksikal bersifat spesifik maksimal. Sifat ini
berupa beban informasi maksimal yang diberikan terhadap produk seleksi tadi. Jadi,
satuan seleksional yang telah menentukan beberapa arti menjadi kategori nomina,
verba, dan nomina, misalnya, akan menghasilkan produk yang akan dibebani
informasi maksimal oleh satuan leksikal menjadi, misalnya pula, Karyo tuku
lengo ‘Karyo membeli minyak.’
Satuan seleksional
dan satuan leksikal dan satuan leksikal yang semesta ini ternyata tidak memadai
bagi pembentukan ujaran bahasa jawa karena satuan-satuan itu ternyata tidak
menjangkau wilayah konteks, yaitu pemakaian bahasa dalam keadaan nyata. Contoh
kalimat Karyo tuku lenga ‘Karyo membeli minyak’ memang tidak saja
betul secara secara gramatikal, tetapi juga secara komunikatif. Namun, derajat
kebetulan itu berbeda, yaitu secara gramatikal kalimat itu betul 100%,
sedangkan secara komunikatif ia hanya sebagian saja betul. Kalimat itu tidak
dapat dipakai terhadap sembarangan orang dalam sebarang keadaan.
Bahasa Jawa
mengenal Karyo tumbas lenga dan Karyo tumbas lisah dengan arti
yang sama, seperti dalam Karyo tuku lenga. Ini terjadi karena hadirnya jenis
hubungan antara pembicara dan pendengar atau penulis dan pembaca. Jenis
hubungan ini mengharuskan pemilihan penggunaan Karyo tumbas lengo, Karyo
tumbas lisah, yang tidak boleh secara komunikatif, yang memberi muatan
informasi komunikatif secara selektif kepada produk dari proses berlakunya
satuan seleksional dan satuan leksikal.
Contoh, kata adek
‘diri’ adalah kata bewujud sederhana. Kata ngadek ‘berdiri’ bukan lagi
kata berwujud sederhana, tetapi kata berwujud komposisi. Hal itu disebabkan
oleh adanya satuan leksikal tambahan, yang memberi beban informasi maksimal;
yaitu ‘kegiatan ragawi dengan kaki (atau yang dianggap mirip dengan itu)’, yang
diungkapkan oleh prefiks ng-.
Kata terwujud
komposisi adalah kata bewujud sederhana yang mengalami proses perpanjangan
dengan afiksasi, reduplikasi, atau kombinasi. Afiksasi diungkapkan oleh
prefiks, sufiks, infiks, atau sirkumfiks.
Reduplikasi secara
umum diperinci menjadi dua macam, yaitu reduplikasi silabe pertama suatu kata
dan reduplikasi seluruh kata. Dalam reduplikasi dapat terjadi perubahan wujud
fonemik bagian tertentu pada wujud kata. Kombinasi terdiri dari dua macam,
yaitu kombinasi antara kata-kata sederhana atau komposisi yang berkaitan dengan
leksikalnya, yaitu berkaitan artinya, dan kombinasi antara kata-kata –sederhana
atau komposisi- yang tidak berkaitan dengan satuan leksikalnya.
Adab Berbahasa Sehari-Hari[4]
Nuwun Sewu (Permisis, Maaf)
A
|
Nuwun sewu!
Kula badhe nyuwun pirsa pundi inggih dalemipun Pak Bejo?
|
Permisi! Saya mohon tanya di mana ya rumah Bapak Bejo?
|
B
|
Oh lha punika. Daleminpun Bapak Bejo ingkang majeng mengidul
sacaketipun kantor kelurahan.
|
Oh lha itu. Rumah Pak Bejo adalah yang menghadap ke seleatan di
sebelah kantor kelurahan
|
A
|
Kinten-kinten Bapak wonten dalem mboten nggeh?
|
Kira-kira Bapak ada di rumah tidak a?
|
B
|
Pangapunten. Kadosipun jam-jam semanten Bapak saweg ngunjuk kopi
ing ngajengan. Cobi kemawon tindak mrika.
|
Maaf saya kurang tahu. Biasanya, pada jam-jam seperti ini Bapak
sedang minum kopi di beranda. Coba saja ke sana.
|
A
|
Oh nggih, matur nuwun.
|
Oh ya terima kasih.
|
Konteks
Komunikasi
Apabila bahasa dipakai dalam wujud
tulisan atau lisan, pastilah melihatkan pengungkap dan penerima. Pada umumnya,
pengungkap sering juga disebut pembicara, penulis, dan pemancar berbeda
identitasnya dengan identitas penerima, pendengar, dan pembaca. Dalam
mengudarasa, monolog atau soliloquy, pengungkap dan penerima ini, sebagaimana halnya
dalam peristiwa antar hubungan sosial lain, menumbuhkan adanya hubungan antara
pengungkap dan penerima. Hubungan ini adalah konteks komunikasi.
Dalam bahasa Jawa, konteks ini tidak
sama dalam setiap peristiwa bahasa. Konteks yang tidak sama itu pada umumnya
tidak mempengaruhi wujud kata yang dipakai dalam peristiwa bahasa itu. Namun,
dalam hal itu ia mempengaruhi wujud kata, yang jumlahnya sangat sedikit
dibandigkan dengan keseluruhan kosa kata Jawa, pengaruh itu mendikte pemilihan
dan penggunaan kata dengan tepat. Dengan kata lain, dalam bahasa Jawa terdapat
kata-kata yang peka terhadap konteks (PK), dan sebagian besar kata-kata
bersifat netral (Net) terhadap konteks. Konteks ini pada dasarnya mengungkap
sifat hubungan antara pengungkap bahasa dan penerima bahasa. Penelitian ini
menemukan adanya tiga jenis konteks dasar, yaitu konteks K – A, konteks S-L dan
konteks P-D. dasar pemikirannya adalah bahwa pada setiap peristiwa bahasa
tumbuh suatu hubungan antara pengungkap dan penerima bahasa. Dilihat dari sudut
pengungkap, untuk penerima ditentukan lebih dahulu parameter sapaan peonominal
sebagai pembatas (dan judul jenis hubungan itu). Apabila untuk penerima
ditentukan judul sapaan X, maka tidak saja diperlukan penentuan judul sapaan Y
bagi pengungkap bahasa, tetapi juga hubungan X-Y antaranya.
Berdasarkan adanya sebagian besar
kata yang netral (Net) terhadap konteks komunikasi dan juga adanya sejumlah
kecil kata yang peka terhadap konteks komunikasi (PK).
Penutup
Sistem fenom bahasa jawa tidak
mencakup diftong. Yang kehadirannya merupakan pinjaman dari bahasa lain. Dalam
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan (1972), tidak terdapat
pilah (distrinction) antara e dalam bebek, e dalam kata enak, dan e dalam kata
sebar, walaupun secara fonemik terdapat pilah diantara palig tidak dua
pelambangan itu ejaan Bahasa Jawa dalam huruf Latin didasarkan pada Pedoman
Umum Bahasa Indonesia yang disempurnakan. Fonotatik adalah kaidah yang berlaku
(biasanya secara khas pada setiap bahasa), yang mengatur penjajaran tanpa
diselingi jeda dua fenom atau lebih dan juga posisi fenom di awal ujaran
sesudah jeda.
Apabila
bahasa dipakai dalam wujud tulisan atau lisan, pastilah melihatkan pengungkap
dan penerima. Pada umumnya, pengungkap sering juga disebut pembicara, penulis,
dan pemancar berbeda identitasnya dengan identitas penerima, pendengar, dan
pembaca. Dalam mengudarasa, monolog atau soliloquy, pengungkap dan penerima
ini, sebagaimana halnya dalam peristiwa antar hubungan sosial lain, menumbuhkan
adanya hubungan antara pengungkap dan penerima. Hubungan ini adalah konteks
komunikasi.
[3]
Herawati, Dirgo Sabariyanto, Sumardi, Praptomo Baryadi Isodarus, Nomina,
Promina, dan Numeralia dalam bahasa Jawa (Jakarta: Pusat Ppembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1995), h.11
[4]
Purwadi, Belajar Praktis Bahasa Jawa (Solo: Leres Press, 2006), h.7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar