gamisaljamilah.com

Selasa, 10 April 2018

Makalah Ulumul Qur'an, Apa Pengertian al Qur'an, Qiro'at Al Quran

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadis atau tidak merata tersebar di sepanjang Jazirah Arab. Setiap suku itu mempunyai format dialek (lahjah) yang khas dan berbeda dengan suku suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku. Mereka telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah, dan melakukan aktifitasi lainnya.
Di sisi lain, perbedaan- perbedaan dialek (lahjah) akhirnya membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam (qira’ah) dalam melafalakan Al-Quran. Fenomena keragaman dialek yang berpengaruh kepada kemampuan melafalkan bahasa Al-Quran merupakan  sesuatu yang natural atau tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW. Sendiri memebenarkan pelafalan Al-Quran dengan berbagai macam qira’at. Pada perkembangan selanjutnya, dapat dipahami bahwa perbedaan bacaan dapat dijadikan sebagai sarana mempermudah untuk membaca dan melafalkan Al-Quran yang sesuai dengan kemampuan dan dialek seseorang. 
Dialek (lahjah) sendiri ada karena adanya perbedaan bahasa maupun logat yang tersebar didalam muka bumi ini. Perbedaan dalam dialek (lahjah) dalam Al-Qur’an itu sendiri dibagi menjadi tujuh, sebagaimana yang telah disebutkan didalam Al-Qur’an “Sab’ati Ahrufin’.
Maka untuk itu sangat penting untuk dikaji lebih mendalam mengenai ‘Qiro’atul Qur’an’ didalam mata kuliah Ulumul Qur’an ini guna untuk mengetahui lebih dalam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Qiro’at Al-Qur’an?
2. Apa saja yang melatar belakangi sejarah perbedaan Qiro’at Al-Qur’an?
3. Apa saja macam-macam Qiro’at Al-Qur’an?
4. Apa saja syarat-syarat diterimanya Qiro’at Al-Qur’an?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui lebih dalam mengenai Qiro’at Al-Qur’an.
2. Memahami dan mengetahui latar belakang sejarah Qiro’at Al-Qur’an.
3. Mengetahui macam-macam Qiro’at Al-Qur’an.
4. Mengetahui syarat-syarat Qiro’at Al-Qur’an

D. Manfaat Penulisan
1. Sebagai bahan rujukan maupun referensi untuk kajian-kajian selanjutnya.
2. Sebagai bahan belajar secara mendalam mengenai Qiro’at Al-Qur’an.
3. Sebagai salah satu kajian memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bisa dikaji pada kajian selanjutnya.






BAB II
PEMBAHASAN

A. Qiro’at Al-Qur’an
a. Pengertian Qiro’at
Berdasarkan pengertian etimologi (bahasa), “Qira’at” merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja “qira’at” (membaca). Sedangkan berdasarkan pengertian terminologi (istilah), maka ada beberapa definisi menurut para ulama:
a) Menurut Az-Zarqani:
مذ هب يذهب إليه إما م من أىمّة القراء مخا لفا به غيره فى النّطق با لقران الكريم مع اتفا ق الرّ وايات والطّرق عنه سواءأكا نت هذهالمخا لفة في نطق الحروف أم في نطق هيأ تها.
  Artinya:
“Suatu madzab yang dianut sorang imam qira’at yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Quran serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya.”

b) Menurut Ibn Al-Jazari:
علم بكيفيّا ت أداءكلمات القران واختلافهابعزوالنّا فلة.
Artinya:
“Ilmu yang menyangkut cara-cara menugucapkan kat-kata Al-Quran dan perbedaan- perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.”

c) Menurut Al-Qasthalani:
“Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf,i’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuannya diperoleh secara periwayatan.”

d) Menurut Az-Zarkasyi:
اِخْتِلاًفُ اًلْفاَظِ الْوَحْيِ الْمَذْكُوْرِ فِيْ كِتَابَةِ الْحُرُوْفِ اَوْ كَيْفِيَّتِهَا مِنْ تَخْفِيْفٍ و تَقِيْلٍ وَ غَيْرِهَا
Artinya: “Qira’at adalah perbedaan (cara mengucapakan) lafazh-lafazh Al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhlif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan yang lainnya.”

e) Menurut Ash-Shabuni:
مَذْهَبٌ مِنْ مَذْهَبِ الْنُطْقِ فِي الْقُرْآنِ يَذْهَبُ بِهِ إِمَامٌ مِنَ لأَئِمَّةِ بِأَسَانِيْدِهَا اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص. م.
Artinya: “Qira’at adalah suatu madzab cara pelaalan Al-Quran yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.”

Perbedaan definisi diatas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, bahwa ada beberapa cara melafalakan al-Quran walaupun sama-sama bersalah dari satu sumber, yaitu Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang lingkup perbedaan di anatara beberapa qira’at  yang ada. Dengan demikian, ada tiga unsur qira’at yang dapat ditangakap dari definisi-definisi diatas, yaitu:

a) Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilkuakan ima-imam lainnaya.
b) Cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepad Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
c) Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl, dan washl.

B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
a. Latar Belakang Historis
Qira’at sebenarnya telah muncul  semenjak Nabi masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at bukan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang mendukung asumsi di atas:
1. Suatu ketika Umar bin Khatab berbeda pendapat dengan Hisyam Hakim ketika membaca AL-Quran. Umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut Umar bacaan Hisyam  tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa di atas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya. Nabi bersabda:

Artinya: “Memang begitulah Al-Quran diturunkan seseungguhnya Al-Quran ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.”
2. Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita: “Saya masuk ke masjid untuk
mengerjakan shalat, kemudian datanglah sesorang dan membaca surat An-Nahl, tetapi bacaanya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya,”siapakah yangmembacakan ayat itu kepadamu?” ia menjawab,”Rasulullah SAW.” Kemudian, datanglah seseorang mengerjakan shalat dengan membaca permualaan surat An-Nahl (16), tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya, ”siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” ia menjawab,”Rasulullah SAW.” Kedua orang itu lau saya ajak mengahadap Nabi. Setelah saya sampaikan maslah itu kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya surat itu. Setelah bacaaannya selesai, Nabi bersabda,’Baik. Kemudian Nabi meminta  kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya baik.

Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabiin, yaitu pada awal 11 H, tatkala pada qari’ sudah terbesar diberbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada para imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
Persoalan qira’at terus berkembang hingga masa Abu Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin Mujahid, yang terkenal dengan nama Ibn Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at (qira’at sab’ah) yang disesuaikan dengan tujuh imam qari’. Inisiataif Ibn Mujahid itu sempat memancing lahirnya kecaman dari sebagian ulama. Ibn ‘Ammar mencela keras Ibn Mujahid dan mengatakannya telah berbuat sesuatu yang ridak layak baginya. Ia dituduh telah mengaburkan persoalan dengan mengatakan bahwa qira’at yang tujuh itu adalah yang   disebut dalam hadis Nabi (inna hadza Al-Quran unzula ‘ala sab’at ahruf). Namun, berkat jasa Ibn Mujahid, kita dapat mengetahui mana qira’at yang dapat diterima dan mana yang ditolak.
Ada beberap faktor yang membuat sebagian ulama merasa keberatan atas inisiatif Ibn Mujahid di atas, yakni:
1. Inisiatif Ibn Mujahid menginventarisasi qira’at menjadi tujuh memancing kekacauan dengan timbulnya tendensi umat untuk memahami kata “sab’ah ahruf” dalam hadis Nabi sebagai qira’at sab’ah itu.
2. Inisiatif Ibn Mujahid menginventarisasi qira’at sab’ah tak pelak membuat sebagian ulama merasa keberatan. Mengapa hanya tujuh ? padahal, kajian tentang pertumbuhan qira’at yang sudah muncul semenjak zaman Nabi yang kemudian melalui jalur periwayatan tersebar ke berbagai pelosok, akan membawa kesimpulan begitu banyak qira’at yang pernah lahir.
3. Istilah qira’ah sab’ah belum masyhur sampai pada masa Ibn Mujahid. Padahal, qira’at itu sendiri sebenarnya sudaah akrab semenjak abad 11 H.
Ada beberapa pertimbangan mengapa Ibn Mujahid  hanya memilih tujuh qira’at dari sekian banyak qira’at. Ketujuh tokoh qira’at itu dipilihnya dengan pertimbangan bahwa merekalah yang paling terkemukaka, paling masyhur, paling bagus bacaannya, dan memiliki kedalaman ilmu dan usia panjang. Yang tak kalah penting dalah bahwa mereka dijadikan imam qira’at oleh masyarakat mereka masing –masing.
4. Pada masa masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan r.a mushaf Al-Quran itu disalin dan dibuat banyak, serta dikirim ke daerah –daerah islam yang pada waktu itu sudah menyebar luas guna menjadi pedoman bacaan pelajaran dan hafalan Al-Quran. Hal itu diupayakan Khalifah Usman, karena pada waktu ada perselisihan kaum muslimin di daerah  Azzerbeijan mengenai bacaan Al-Quran. Perselisihan tersebut hampir saja menimbulkan perang saudara sesama umat islam. Sebab mereka berlainan dalam menrima bacaan ayat-ayat Al-Quran karena oleh Nabi diajarkan cara bacaan yang relevan (berkaitan) dengan dialek mereka masing-masing. Tetapi karena tidak memahami maksud tujuan  yang begitu tadi, lalutiap-tiap suku atau golongan menganggap hanya bacaan mereka sendiri yang benar, sedang bacaan yang lain salah, sehingga mengakibatkan perselisihan.

Untuk memadamkan perselisihan-perselisihan itu, Khalifah Usman mengadakan penyalinan mushaf Al-Quran dan mengirimkannya ke berbagai daerah, sehingga bisa mempersatukan kembali perpecahan umat islam. Tentunya, bacaan Al-Quran di daerah-daerah tersebut mengacu pada mushaf yang dikirimkan oleh Khalifah Usman. Mushaf-mushaf yang diirim oleh Khalifah Usman seluruhnya sama, karena semuanya berasal dari beliau.

b. Latar Belakang Cara Penyampaian
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khali, perbedaan qira’at itu bermula dari cara seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Kalau diruntut, cara membaca Al-quran yang bebeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus ‘Umar dan Hisyam, diperbolehkan oleh Nabi. Lalu beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-Quran sebagai berikut:
1. Perbedaan dalam ‘irab atau harakat kalimat tanpa perubahan tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat. Misalnya pada firman Allah:
...اَلَّذِيَنَ يَبْخَلُوْنَ وَ يَأْ مُرُوْنَ النَّاس بِالْبُخْلِ...
Artinya: “....(yaitu orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir...”(QS. An-Nisa’[4]:37).
Kata Al-bakhl yang berartti kikir di sini dapat dibaca fathah pada huruf ba’nya sehingga dibaca “bi Al-bakhli”; dapat pula dibaca dhammah pada ba’nya sehingga menjadi “bi Al-bukhli.”
2. Perbedaan pada ‘irab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya. Mislanya pada firman Allah:
رَبَّنَابَاعِدْبَيْنَ أَسْفَارِنَا
Artinya: “Ya tuhan kami, jauhkanlah jarak perjalanan kami.” (Q.S. Saba’[34]: 19).
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah di atas adalah ba’id yang berarti statusnya menjadi fi’il amr;  boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjad fi’il madhi, sehingga artinya telah jauh.
3. Perbedaan pada perubahan huruf antara perubahan i’rab dan bentuk tulisannya, sementara maknanya berubah. Misalnya pada firman Allah:
وَانْظُرْ إِلَى اْلعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا
Artinya: “... dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 259).
Kata nunsyiyuha (kami menyusun kembali) yang ditulis dengan menggunakan huruf ‘zay’diganti dengan huruf ‘ra’ sehingga menjadi berbunyi  nunsyiruha yang berarti “kami hidupkan kembali.”
4. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk  tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah. Mislanya pada firman Allah:
وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَاالْعِهْنِالْمَنْفُوْشِ
Artinya: “... dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (Q.S. Al-Qari’ah [101]: 5).
Beberapa qira’at mengganti kata ka “al-‘ihin” dengan ka “ash-shufi” sehingga yang mulanya bermakna “bulu-bulu” berubah menjadi “bulu-bulu domba”. Perubahan seperti ini, berdasarkan ijma’ ulama tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan mushaf ‘Utsmani.
5. Perbedaan pada kalimat di mana bentuk dan maknanya berubah pula. Misalnya pada ungkapan thal’in  mandud menjadi thalhin mandud.

6. Perbedaan pada mendahulukan dan mengakhirkannya. Misalnya pada firman Allah:
وَجَآءَتْ سَكْرَةُالْمَوْتِ بِالْحَقِ
Artinya: “Dan datangalah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya.” (Q.S. Qaf [150]: 19).
Konon menurut suatu riwayat, Abu Bakar perrnah membacanya menjadi Wa ja’at sakrat Al-haqq bi Al-maut. Abu Bakar menggeser kata “al-maut” ke belakang. Setelah mengalami pergeseran ini, bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Kalimat itu menjadi: “Dan datanglah sekarat yang sebenar-benar dengan kematian.”. Qira’at semacam ini, juga tidak pakai, karena jelas menyalahi ketentuan yang berlaku. 
7. Perbedaan dengan menambah  dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah:

Artinya: “... surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 25).
Kata min pada ayat ini dibuang. Dan pada ayat serupa yang tanpa min  justru ditambah.
c. Sebab-Sebab Perbedaan Qira’at
Di antara sebab-sebab munculnya beberapa qira’at yang berbeda dalah sebagai berikut:
1. Perbedaan qira’at Nabi. Artinya, dalam mengajarkan Al-Quran kepada para sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi qira’at. Misalnya, Nabi pernah membaca surat As-sajdah (32) ayat 17 sebagai berikut:
.فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا اُخْفِيْ لَهُمْ مِنْ قُرَّاةِ اَعْيُنٍ
Qira’at versi mushaf ‘Utsmani adalah:
.فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا اُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّاةِ اَعْيُنٍ
2. Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan umat muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek di antara berbagai belahan dunia.

C. Macam-macam Qira’at
a. Dari Segi Kualitas
1. Qira’at Sab’ah (Qira'ah Tujuh). Maksud sab'ah adalah imam-imam Qira’at yang tujuh. Mereka adalah:
a.) Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w. 120. H.) dari Mekah. Ad-Dari termasuk generasi tab'iin. Qira'at yang ia riwayatkan diperolehnya dari ‘Abdullah bin Jubair dan lain-lain. Sahabat Rasulullah yang pernah ditemui Ad- Dari, di antaranya Anas bin Malik, Abu Ayyub Al-Anshari, ‘Abdullah bin Abbas, dan Abu Hurairah.
b.) Nafi bin‘Abdurrahman bin Abu Naim (w. 169 H.) dari Madinah. Tokoh ira belajar qira’at kepada 70 orang tabiin. Para tabiin yang menjadi gurunya itu beiajar kepada Ubay bin Ka'ab, ‘Abdullah bin ‘Abbas, dan Abu Hurairah.
c.) Abdullah Al-Yahshibi, terkenal dengan sebutan Abu ‘Amtr Ad Dimasyqi (w. 118 H.) dari Syam. la mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syaibah Al-Mahzumi, dari ‘Utsman bin ‘Attan. Tokoh tabiin ini sempat berjumpa dengan sahabat Rasulullah yang bernama Nu’man bin Basyir dan Wa’ilah bin Al-Asyqa’. Sebagian riwayat mengatakan bahwa ‘Abdullah Al-Yahshibi sempat berjumpa dengan ‘Utsman bin ‘Atfan secara langsung.
d.) Abu ‘Amar (w. 154 H.) dari Bashrah, Irak. Nama lengkapnya adalah Zabban bin Al-A‘la bin ‘Ammar. la meriwayatkan qira’at dari Mujahid bin Jabr.
e.) Ya’qub (w. 205 H.) dari Bashrah, Irak. Nama lengkapnya adalah ibn Ishak Al-Hadhrami. Ya’qub belajar qira'at pada Salam bin Sulaiman Al-Thawil yang mengambil qira'at dari ‘Ashim dan Abu Amar.
f.) Hamzah (w. 188 H.). Nama lengkapnya adalah Ibn Habib Az-Zayyat. Hamzah belajar qira'at pada Sulaiman bin Mahram Ai-A’masy, dari Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin Hubaisy, dari ‘Utsman bin ‘Attan, ‘Ali bin Abi Thalib, dan Ibn Mas'ud.
g.) Ashim. Adapun nama lengkap ‘Ashim adalah Ibn Abi An-Najud Al- Asadi (w. 127 H.), la belajar qira’at kepada Dzar bin Hubaisy, dari ‘Abdullah bin Mas’ud.

2. Qira ’at ‘Asyarah (Qira’at Sepuluh). Yang dimaksud qira’at sepuluh adalah qira'at tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah dengan tiga qira'at berikut:
a) Abu Ja’far. Nama lengkapnya adalah Yazid bin Al-Qa’qa Al-Makhzumi Al-Madani. la memperoleh qira‘at dari ‘Abdullah bin Ayy asy bin Rabi’ah, ‘Abdullah bin ‘Abbsa, dan Abu Hurairah. Mereka berdua memperolehnya dari Ubay bin Ka’ab, sedangkan Ubay memperolehnya langsung dari Nabi.
b) Ya’qub (117-205 H.). Nama lengkapnya adalah Ya'qub bin ishaq bin Yazid bin ‘Abdullah bin Abu lshaq Al-Hadhrami Ai-Bashri. la memperoleh qira’at dari banyak orang yang sanadnya bertemu pada Abu Musa Al- Asyari dan Ibn ‘Abbas, yang membacanya langsung dari Rasulullah SAW.
c) Khallaf bin Hisyam (w. 229 H.). Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa'lab Ai-Bazzaz Al-Baghdadi. ia menerima qira'at dari Sulaiman bin ‘Isa bin Habib.

Berkaitan dengan kualitas riwayat qira'at sab’ah, Az-Zarqani menuturkan lima pendapat, dari -yang ekstrem sampai yang moderat.
a) Abu Saud Farj bin Lubb, seorang mufti Andalusia, berpendepat bahwa penolakan terhadap qira'at sab’ah dapat membawa pada kekafiran karena akan menimbulkan konsekuensi pada penolakan kemutawatiran Al-Qur’an.
b) Sebagian Ulama menyamakan qira’at sab’ah dengan qira’at-qira’at lainnya. Tingkat keakurasian qira’at sab’ah, seperti halnya qira’at-qira’at lainnya,  hanya sampai pada derajat ahad.
c) Ibn As-Subuki, dalam Jam’Al-Jawami, menjelaskan bahwa qira'at sab'ah merupakan riwayat mutawatir dari Nabi.
d) Ibn Al-Hajib juga berpendapat bahwa riwayat qiraat sab'ah adalah mutawatir, tetapi ia mengecualikan persoalan-persoalan yang menyangkut Al-’ad. madd, imalah, dan takhfif hamzah. Al-Banani menjelaskan bahwa persoalan-persoalan yang dikecualikan Ibn Al-Hajib adalah persoalan yang masuk pada ruang lingkup ijtihadi.
e) Abu Syamah, dalam kitabnya Af-Mursyid Al-Wajiz, berpendapat bahwa kemutawatiran qira’at sab'ah hanya menyangkut jalan-jalan periwayatan yang telah disepakati datang dari para imam qira’at. Adapun qira’at yang jalan periwayatannya masih diperselisihkan datangnya dari mereka, qira’at itu tidaklah mutawatir
d) Qira'at Arba’at Asyrah (Qira'at Empat Belas). Yang dimaksud Qira'at empat belas adalah Qira'at sepuluh yang telah disebutkan di atas ditambah dengan empat Qira'at sebagai berikut;

1. Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H ). Salah seorang tabiin besar yang terkenal kezahidannya
2. Muhammad bin ‘Abdrrahman, yang dikenal dengan nama Ibn Mahtshar (w. 123 H.). la adalah guru Abi ‘Amr.
3. Yahya' bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi (w 202 H.), la mengambil qira'at dari Abi ‘Amr dan Hamzah.
4. Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz (w. 388 H.).

b. Dari Segi Kualitas
Berdasarkan penelitian Al-Jazari, berdasarkan kualitas, qira at dapat dikelompokkan dalam lima bagian:
1.) Qira’ah mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta Umumnya, qira‘ah yang ada masuk ke dalam bagian ini.
2.) Qira’ah masyhur yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf utsmani, masyhur di kalangan quura’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah daetapkan Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru dan menyimpang. Seperti, qira'ah dari imam tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda Sebagian perawi, misalnya, meriwayatkan dari imam tujuh itu, sementara yang lainnya tidak. Qir’ah semacam ini banyak digambar dalam kitab kitab qira‘ah. misalnya At-Taisir karya Ad-Dani, Qoshidah karya Asy-Syathibi, Au’iyyah An-Nasyr fi Ai-Qira’ah AI-'Asyr, dan An-Nasyr (kedua kitab yang terakhir ditulis Ibn Al-Jazari).
3.) Qira'ah ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan mushaf ‘Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari. Al-Tirmidzi dalam kitab Jam'-nya dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya menempatkan qira'ah seperti ini dalam bahasan khususnya, di antaranya riwayat yang dikeluarkan Al-Hakim melalui ‘Ashim Al-Jahdiri, dari Abu Bakar yang menyebutkan bahwa Nabi SAW. membaca ayat:
مُتَّكِئِنَ عَل رَفَ خُضْرٍوَعَبَاقَرِيَ حِسَانٍ.
Artinya: “Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah.”(QS. Ar-Rahman[55]:76).
Qira’ah versi mushaf ’utsmani:
مُتَّكِئِنَ عَل رَفَ خُضْرٍوَعَبَاقَرِيَ حِسَانٍ.



Dari Abu Hurairah, Al-Hakim mengeluarkan riwayat bahwa Nabi membaca ayat:
فَلاَتَعْلَمُ نَفْسٌ مَآاُخفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّتِ اَعْيُنٍ.
Artinya: “Seorang pun mengetahui apa yang disembunyikanya untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata.” (QS As-Sajdah [32]:17).
Qira'ah versi mushaf ‘Utsmani:
فَلاَتَعْلَمُ نَفْسٌ مَااُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ اَعْيُنٍ.
4.) Qira’ah Syadz(menyimpang), yakni yang sanadnya tidak sahih.Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qira'at ini. Di antara macam qira'at ini adalah: Qira’at mushaf ’Ustmani
مَالِكِ يَوْمِالدّيْنِ
5.) Qira'at maudhu’(palsu), seperti qira'at Al-Khazzani. Ash-Suyuthi kemudian menambah Qira'ahyang keenam.
6.) Qira'at yang menyerupai hadis mudraj (sisipan), yakni adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Contohnya, qira’at Abi Waqqash yang:
وَلَهُ اَخٌ اَوْاُخْتٌ مِنْ اُمّ
Artinya: “Tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki(sibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja).”(QS.An-Nisa’[4]:13)


D. Syarat-Syarat diterimanya Qira’at
Dari beberapa definisi Qira’at, dapat di ketahui bahwa syarat-syarat diterimanya qira’at adalah sebagai berikut:
1. Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih.
2. Bersesuaian dengan salah satu kaidah penulisan mushaf 'Utsmani walaupun hanya kemungkinan (ihtimal).
3. Memiliki sanad yang shahih. 

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik benang merah bahwasannya didalam ulumul qur’an terdapat pembahsan mengenai Qiro’atul Qur’an. Dimana Qiro’atul Qur’an ini muncul akibat banyakfaktor yang salah satu diantaranya adalah faktor perbedaan dialek (lahjah). Disamping itu, didalam Al-Qur’an pun telah dijelaskan bahwasanya perbedaan dialek (lahjah) dibagi menjadi tujuh atau yang biasa disebut ‘Sab’ati Ahrufin”.
Perbedaan Qiroa’atul Al-Quran sebenarnya ada sejak zaman Nabi, akan tetapi lebih disebarkan pada zaman Usman. Ketidak efektifan dalam perbedaan ini sempat menjadikan perselisihan dan perpecahan bagi umat Islam. Untuk memadamkan perselisihan-perselisihan itu, Khalifah Usman mengadakan penyalinan mushaf Al-Quran dan mengirimkannya ke berbagai daerah, sehingga bisa mempersatukan kembali perpecahan umat islam.

B.  Saran
1. Hendaknya tulisan ini mampu meningkatkan pemahaman pembaca agar mengetahui macam-macam Qiro’at Qur’an, latar belakang terjadinya perbedaan Qiro’at Qur’an, dan syarat-syarat Qiro’at Qur’an agar meningkatkan pemahaman mengenai pembahasan Qiro’atul Qur’an.
2. Dan diharapkan kajian ini dapat dijadikan bahan rujukan pada kajian Ulumul Qur’an di masa mendatang. Serta untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman mengenai latar belakang, syarat-syarat dan macam-macam perbedaan Qiro’atul Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar