gamisaljamilah.com

Sabtu, 07 April 2018

MAKALAH FIQIH SHOLAT FARDHU, SHOLAT WAJIB, SYARAT WAJIB SHOLAT, RUKUN SHOLAT, PERKARA YANG MEMBATALKAN SHOLAT, SUNNAH-SUNNAH SHOLAT


BAB I
PENDAHULUAN
    
A.      Latar Belakang Masalah
            Shalat merupakan rukun islam yang kedua. Maka bagi setiap muslim wajib melaksanakan shalat. Seperti keterangan pada QS. Al-Baqarah [2] ayat 43:
 واقيموا الصلوة وءاتوا الزكوة واركعوا مع الركعين
“Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”
Menurut syari’at Islam, praktik sholat harus sesuai dengan petunjuk tata cara Nabi Muhammad SAW. seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
 صلو كما رايتموني اصلي              
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku ketika aku sholat.” 

Sholat secara bahasa berarti do’a. Sedangkan secara istilah seperti yang ucapkan oleh Imam Ar-Rofi’i adalah ucapan dan perbuatan yang di awali dengan takbir dan di akhri dengan salam dengan beberapa syarat yang telah ditentukan[1]. Sedangkan fardu sama dengan wajib. Wajib adalah suatu hal yang apabila dilakukan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa. Sholat yang difardukan diantaranya adalah: shalat lima waktu, shalat jumat, dan shalat mayit. Namun dalam pembahasan makalah ini adalah shalat lima waktu.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa Saja Syarat Wajib Shalat Dan Syarat Sahnya Shalat?
2.    Menjelaskan Niat Dalam Shalat!
3.    Apa Saja Rukun Dalam Shalat ?
4.    Sebutkan Sunnah-Sunnah Shalat!
5.    Apa Saja Yang Dapat Membatalkan Shalat?

C.      Tujuan Pembahasan
1.         Mengetahui Syarat Wajib Dan Sayarat Sahnya Shalat
2.         Mengetahui Tata Cara Niat Dalam Shalat
3.         Mengetahui Rukun Dalam Shalat
4.         Mengetahui Sunah-Sunahnya Shalat
5.         Mengetahui Perkara-Perkara Yang Membatalkan Shalat























BAB II
                                                     PEMBAHASAN

A.      Syarat Wajib Dan Syarat Sahnya Shalat
1.      Syarat Wajib Shalat
a.       Muslim
Muslim adalah orang yang beraga Islam. selain orang Islam tidak wajib melakukan shalat. Tetapi bagi orang yang murtad, kemudian masuk Islam, maka baginya wajib melakukan shalat dan mengqadha’ shalat yang ditinggalkan selama ia menjadi orang kafir.[2] Sholat yang dimaksud di sini adalah shalat lima waktu. Diantaranya adalah: dhuhur, ashar, maghrib, isya dan subuh.
b.      Baligh
         Maka shalat tidak wajib bagi anak kecil yang belum baligh. Tetapi bagi anak kecil yang sudah mencapai umur tujuh tahun, atau sudah tamyiz, hendaknya sudah diperintahkan untuk melakukan shalat. Ketika anak tersebut meninggalkan shalat, dan anak tersebut sudah mencapai sepuluh tahun, maka pukulah dengan pukulan yang tidak menyakiti. Ciri-ciri anak yang sudah baligh biasanya ditandai dengan umur yang sudah mencapai sepuluh tahun, mimpi keluar mani, haid bagi anak perempuan. Ciri-ciri tersebut tidak terkecuali pada orang memiliki dua kelamin.
c.       Berakal
         Maka sholat tidak wajib bagi orang gila,  orang mabuk, orang yang punya penykit ayan. Tidak wajib mengqadha’ shalat bagi orang gila, apabila sudah sembuh dari penyakitnya.[3]
d.      Suci dari haid dan nifas
Wanita yang sedang haid dan nifas tidak diwajibkan untuk melakukan shalat. Bahkan baginya haram untuk malakun shalat. Wanita yang haid atau nifas, tidak wajib mengqadha’ shalat ketika sudah dalam keadaan suci. Berbeda dengan puasa, tetap wajib mengqadha’ puasa yang ditinggalkan selama haid atau nifas.
2.      Syarat Sahnya Shalat
a.       Suci dari Hadats
Orang yang melakukan shalat dalam keadaan hadats, maka shalatnya tidak sah. Baik hadats kecil maupun hadats besar. Hal tersebut juga dihukumi haram. Cara menghilangkan hadats kecil yaitu dengan wudhu. Sedangkan untuk menghilangkan hadats besar dengan mandi besar. Bisa juga dengan tayamum jika memang dalam keadaan terpaksa. Bagi orang yang sedang mengalami dua hadats dalam keadaan bersamaan, cukup dengan satu kali mandi besar sudah menghilangkan kedua hadats tersebut. Walaupun ketika mandi, orang tersebut tidak berniat melakukan wudhu dan tidak mengurutkan anggota wudhu.[4]

b.      Sucinya Badan, Pakaian, dan Tempat dari Najis
Najis yang dimaksud adalah semua jenis najis, baik mukhaffafah, mutawasitah, ataupun mughaladah. Tidak termasuk najis yang dima’fu. Maka, tidak sah orang yang shalat dalam keadaan terkena najis, walaupun orang tersebut lupa atau tidak tahu. Tidak tahu wujudnya najis, dan tidak tahu bahwa najis itu membatalkan.
c.       Menutup Aurat
         Adapun uarat orang laki-laki  dan wanita amat (budak) yaitu anggota di antara pusar dan kedua lutut. Sedangkan uaratnya wanita merdeka di waktu shalat adalah seluruh anggota badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan, baik luarnya ataupun dalamnya sampai kepada pergelangan. Wajib menutup aurat, baik dalam keadaan sepi atau gelap.[5] Berbeda dengan orang yang tidak mampu untuk menutup aurat, maka baginya tetap wajib melakukan shalat dalam keadaan telanjang tanpa harus mengualang kembali sholatnya, walaupun ada satir (tutup uarat) yang terkena najis. Dinama satir tersebut tidak sempat untuk dibersihkan, bukan satir yang sempat untuk disucikan. Berbeda jika orang tersebut hanya menemukan satir yang bisa menutup sebagian uarat, maka yang wajib ditutup terlebih dahulu adalah dua kemaluannya.[6]
d.      Mengetahui Waktunya Shalat
Mengetahui waktunya shalat baik secara yakin maupun prasangka. Orang yang melakukan shalat, tanpa mengetahui waktunya shalat, maka shalatnya tidak sah, walaupun telah masuk pada waktunya. Berikut penjelasan waktu shalat:[7]
1)        Dhuhur, dinamakan shalat dhuhur karena shalat ini jelas. maksutnya terlihat dilakukan di siang hari. Shalat dhuhur dilakukan dengan empat raka’at. Masuknya waktu shalat dhuhur dimulai dari condongnya matahari dari tengah sedikit ke kearah barat sampai bayangan suatu benda sama dengan bendanya.
2)        Ashar, dinamakan ashar karena shalat ini dilakukan pada waktu ashar atau mendekati mendekati ghurub. Jumlah raka’at dalam shalat ashar adalah empat. Waktu ashar di mulai dari bayangan suatu benda sama dengan bendanya dan posisi matahari berada di sebelah barat, sampai terbenamnya matahari. Dalam melakukan shalat ashar, waktu shalat ashar di bagi menjadi lima waktu;
a)      waktu fadhilah, yaitu dilakukan pada awal waktu;
b)      waktu ikhtiar;
c)      waktu jawaz bikarahah;
d)      waktu jauzah bila karahah;
e)      waktu tahrim, yaitu melakukan shalat di luar waktu yang telah di tetapkan.
3)        Maghrib, shalat magrib dilakukan dengan tiga raka’at. Dinamakan shalat maghrib karena dilakukan pada waktu ghurub. Adapun waktu shalat maghrib dimulai dari terbenamnya  matahari sampai kira-kira cukup untuk melakukan adzan, berwudhu atau tayammum, menutup aurat, dan melakukan shalat kira-kira lima raka’at. Pendapat seperti ini menurut qaul jadid. Sedangkan Imam Nawawi lebih mengunggulkan qaul qadim, yaitu dari  terbenamnya matahari sampai hilangnya  mega merah.
.
4)        Isya, dinamakan dengan shalat isya karena dilakukan pada waktu isya. Shalat isya’ dilakukan dengan empat raka’at. Masuknya waktu isya dimulai dari hilangnya mega merah di ufuk barat, sampai pada terbitnya fajar shadiq. Waktu melakukan shalat isya dibagi menjadi dua.
a)    Waktu ikhtiar, yaitu mulai dari hilangnya mega merah sampai pada sepertiga malam.
b)   waktu jawaz, yaitu dari sepertiga malam, sampai terbitnya fajar shodiq.
Sedangkan menurut syekh Abu Hamid, di dalam waktu isya terdapat waktu makruh. Yaitu waktu yang dilakukan di antara dua fajar, yakni fajar kazib dan fajar shadiq.
5)        Subuh, dinamakan dengan shalat subuh, karena shalat ini dilakukan pada waktu subuh. Shalat subuh dilakukan dengan dua raka’at. Subuh sendiri memiliki makna pagi atau awalnya siang. Subuh memiliki lima waktu, sama seperti shalat ashar.
a)    Waktu Fadilah, yaitu waktu awal. waktu awalnya sholat subuh adalah dari terbitnya fajar shadiq.
b)   waktu ikhtiar, yaitu di mualai dari keluarnya fajar yang kedua, sampa langit mulai terang, maksutnya matahari belum terbit.
c)    waktu jawaz bila karahah, yaitu pada saat langit berwarna kemerah-merahan. yang terlihat sebelum matahari terbit.
d)   waktu jawaz bikarahah, yaitu pada saat matahari hampi terbit.
e)    waktu tahrim, yaitu waktu diluar batas yang di tetapkan.[8]
e.       Menghadap Kiblat
Menghadap Kiblat disini adalah menghadap ke Ka’bah dengan dadanya. Kecuali bagi orang yang tidak mampu. Diantaranya adalah, shalatnya orang yang ketakutan.  Walaupun shalat itu sholat fardu. Maka boleh shalat dengan keadaan yang memungkinkan, seperti dengan berlari, menunggang, menghadap kiblat atau tidak menghadap kiblat. Seperi orang yang berlari karena kebakaran, ada hewan buas, dan ular. Boleh tidak menghadap kiblat, shalat sunnahnya orang yang sedang dalam perjalanan, Walaupun dengan menunggang atau berlari. Wajib bagi orang yang sedang dalam perjalanan menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, karena dianggap mudahnya melakukan kedua hal tersebut.
f.        Mengetahui Fardunya Shalat
Tidak sah shalatnya orang yang tidak tahu dengan kefarduannya shalat,  shalat yang disyariatkan, seperti keterangan dalam kitab Majmu’ dan Raudhah.

B.       Rukun Shalat
Dengan menggabungkan tuma’ninahnya shalat dalam satu rukun, rukunnya shalat dibagi menjadi empat belas, diantaranya sebagai berikut[9]:
1.         Niat
Niat adalah menyengaja melakukan dengan hati . karena suatu hadits “sahnya suatu amal itu dengan niat”. Hal-hal yang wajib diucapkan dalam hati ketika melakukan niat shalat adalah sebagai berikut:
a.    Sengaja melakukan shalat,  supaya membedakan antara shalat dan perbuatan-perbuatan yang lain.
b.    Menentukan shalat yang diniatinya, seperti dhuhur, ashar, atau yang lainya, supaya membedakan dari shalat yang telah ditentukan.
c.    Menyengaja bahwa adanya shalat itu fardu.
Sedangkan menyandarkan niat kepada Allah adalah sunnah. Berbeda dengan imam Al-Adzra’i yang mengatakan wajibnya menyandarkan niat kepada Allah.
2.         Takbiratul Ihram
Takbiratul Ihram dijadikan sebagai pembukaan shalat supaya mushalli bisa menghadirkan maknanya takbir itu sendiri. Yaitu menunjukkan kepada keagungan Tuhan. sehingga orang segera bergegas berkhidmad kepada Tuhan, supaya bisa mencapai kesempuraan baginya sifat haibah dan khusu’. Dalam Takbiratul ihram wajib disertai niat, karena takbiratul ihram adalah permulaan rukun.  Imam Rafi’i membenarkan bahwa “menyertai niat shalat di awal takbir sudah cukup”. Maksutnya niatnya sudah sah. Sedangkan lafazd takbirartul ihram sudah di tentukan, yaitu “Allahu Akbar”. atau “Allahul Akbar[10].
3.         Berdiri Bagi Yang Mampu
Berdiri bagi yang mampu disini adalah untuk shalat fardu. Walaupun shalat yang dinadzari atau diulangi. Baik mampu berdiri sendiri atau degan pertolongan orang lain. Sah bediri dengan meluruskan ruas-ruas tulang punggung, sekalipun dengan menyandarkan diri pada sesuatu yang ia bisa jatuh kalau sesuatu itu tidak ada. Bersandar dihukumi makruh. Berdiri membungkuk yang agak sedikit ruku’ tidak sah, bila ia mampu berdiri tegak.
Bagi orang yang tidak mampu berdiri, boleh shalat dengan duduk. jika tidak mampu dengan duduk boleh dengan tidur miring menghadap ke arah kiblat. Jika tidak mampu tidur miring, boleh dengan terlentang, dengan telapak kaki mengadap kearah kiblat dan di bawahnya kepala wajib dikasih ganjal atau bantal, agar wajahnya bisa menghadap kiblat. Kemudian ruku’ dan sujudnya dengan isarat kepala, jikalau tidak mampu dengan kepala maka dengan pelupuk mata. Jikalau masih tidak mampu dengan pelupuk mata, maka isyarat dengan hati. Tidak ada gugurnya kewajiban shalat bagi seseorang, selama akalnya masih tetap.
4.         Membaca Surat Al-fatihah disetiap Raka’at
Wajib membaca fatihah disetiap raka’at pada saat berdiri, Kecuali raka’atnya orang yang masbuk. Tidak wajib bagi masbuk membaca fatihah sekiranya tidak dapat menemukan fatihahnya imam pada saat bedirinya imam, walau disetiap raka’at. Termasuk dalam surat Al-Fatihah adalah basmalah. Wajib menjaga tasdid-tasdidnya Al-Fatihah, huruf-hurufnya Al-Fatihah, makhraj-makhrajnya Al-fatihah, dan terus-enerusnya bacaan Al-Fatihah. Orang yang ragu-ragu apakah sudah membaca basmalah atau belum di tengah-tengah membaca Al-Fatihah, maka baginya wajib mengulangi Al-Fatihahnya.[11]
5.         Ruku’
Ruku’ adalah membungkukkan badan sekiranya telapak tangan sampai pada lutut, bukan jari-jari. Belum dikatakan rukuk,jika hanya pucuk  jari-jari yang sampai pada lutut.
6.         I’tidal
I’tidal adalah berdiri kembali dari ruku’. Ketika seseorang ragu-ragu dalam menyempurnakan i’tidal, maka wajib dengan segera mengulangi i’tidal. Berbeda dengan makmum, jikalau makmum wajib menggantinya dengan satu raka’at setelah salamnya imam.
7.         Melakukan Dua Sujud
Wajib melakukan dua sujud disetiap satu raka’at. Sujud dilakukan dengan  menyungkur. Yaitu bagian pantat dan sekitarnya berada di posisi yang lebih tinggi dari kepala. Sujud dilakukan dengan meletakkan sebagian keningnya dengan keadaan terbuka. Jika pada keningnya terdapat pembalut, maka sujudnya tidak sah. Kecuali balutan luka yang sulit untuk dilepas, maka sujud dengan keadaan seperti ini sujudnya tetap sah.  
8.         Duduk di Antara Dua Sujud
Tidak boleh memanjangkan duduk atau i’tidal, karena memanjang disini bukan suatu hal yang dimaksud. Akan tetapi, rukuk dan i’tidal berfungsi untuk memisah. Paling lamanya i’tidal adalah kira-kiranya bacaan Al-Fatihah. Sedangkan maksimalnya duduk di antara dua sujud adalah kira-kira bacaan tasyahud. Bagi orang yang memanjangkan i’tidal atau sujud melebihi batas yang ditentukan, padahal ia mengetahui maka sholatnya dihukumi batal.
9.         Tuma’ninah
Tuma’ninah wajib dilakukan disetiap ruku’, melakukan dua sujud, duduk di antara dua sujud, dan i’tidal. Batasan tuma’ninah adalah diamnya anggota badan sekiranya jadi terpisah perpindahan rukun satu ke rukun yang lain.[12]
10.     Membaca Tasyahud Akhir
Paling sedikitnya tasyahud akhir adalah seperti yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Tirmizhi. Yaitu bacaan attahiyah.
11.     Membaca Shalawat kepada Nabi
Paling sedikitnya shalawat adalah “Allahumma shalli ‘ala Muhammad”. Membaca shalawat dilakukan setelah tasyahud akhir.
12.     Duduk Tasyahud Akhir
Duduk tasyahud akhir adalah duduk karena membaca tasyahud akhir, atau karena salam. Sunnah duduk tasyahud akhir dengan duduk tawarak. Duduk tawarak adalah duduknya oraang menjelang salam, berbeda dengan makmum yang masbuk ketika imamnya dalam kedaan tasyahud akhir, maka masbuq dengan duduk iftirasy.
13.     Memaca Salam
Salam yang dimaksud disini adalah salam yang pertama. Paling sedikitnya salam adalah “Assalamualaikum”. Sedangkan mengucapkan dengan “Alaikumus Salam”. Mengucapkan salam dengan “Salamualaikum” Belum mencukupi dalam salamnya shalat. Begitu juga dengan ”salamullah” atau “salamii ‘alaikum”. Bahkan hal ini dapat membatalkan shalat jika dilakukan dengan sengaja dan mengetahui hukumnya.
14.     Tertib
Tertib sesuai dengan rukun-rukun yang telah disebutkan di atas. Orang yang sengaja merusak tertibnya rukun fi’li, seperti mendahulukan sujud sebelum ruku’, maka shalatnya dihukumi batal. sedangkan mendahulukan rukun qauli tidak membahayakan, kecuali salam.[13]




C.      Sunah-Sunah Shalat
1.         Sunah Ab’adh
Sunah ab’adh adalah perkara yang disunahkan dalam shalat, dan apabila meninggalkannya, sunnah melakukan dua sujud sebelum salam. Yaitu yang biasa disebut dengan sujud sahwi.  Dalam besujud sahwi, wajib disertai niat. Yaitu sejak menurunkan badan, hatinya sudahnya berniat mengerjakan sujud sahwi. Sunah ab’adh adalah sabagai berikut:[14]
a.    Tasyahud awal, yaitu bacaan yag wajib dibaca pada saat tasyahud akhir.
b.    Duduk tasyahud awal, dalam meninggalkan duduk tasyahud, sama dengan meninggalkan berdiri pada saat qunut. Ketika seseorang tidak bisa memperbaiki membaca qunut atau tasyahud, dalam keadaan seperti itu, tetap disunahkan diam seukuran membaca tasyahud dan qunut. Dan jika meninggalkan salah satunya, maka disunahkan melakukan sujud sahwi.
c.    Membaca do’a qunut, yaitu qunut ketika shalat subuh dan witir separonya bulan Ramadhan.
d.    Berdiri ketika membaca do’a qunut.
e.    Membaca shalawat kepada Nabi setelah qunut dan tasyahud awal.
f.     Membaca shalawat kepada keluarga Nabi setelah qunut dan tasyahud akhir.
Sujud sahwi dapat dilakukan sebab merasa ragu-ragu terhadap sebagian sunah ab’adh yang telah lewat. Misalnya qunut, sudah melakukan atau belum. Jika seorang munfarid atau imam lupa melakukan sunah ab’adh, misalnya tasyahud awal, atau qunut, sedang mereka telah melakukan fardu, baik seperti berdiri, atau sujud, maka bagi mereka tidak diperkenankan kembali untuk mengulangi sunah ab’adh tersebut. Sebab fardu adalah lebih utama daripada sunah.[15]
2.         Sunah Hai’ah
Sunah hai’ah terbagi menjadi lima belas, diantaranya adalah[16]:
a.         Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram;
b.        Mengangkat kedua tangan  ketika ruku’;
c.         Mengangkat kedua tangan ketika bangun dari ruku’;
d.        Manaruh tangan kanan di atas tangan kiri;
e.         Membaca tawajjuh;
f.          Membaca ta’awudz;
g.        Mengeraskan suara pada waktunya mengeraskan dan mengecilkan suara pada waktunnya mengecilkan suara;
h.        Membaca surat Al-Quran setelah membaca fatihah;
i.          Membaca takbir ketika turun karena ruku’ dan ketika bangun dari ruku’;
j.          Mengucapkan lafadz “sami’Allahu liman hamidah”;
k.        Membaca tasbih ketika ruku dan sujud;
l.           Menaruh kedua tangan di atas kedua paha ketika membaca tasyahud;
m.       Duduk iftirosy di semua waktu duduk;
n.         Duduk tawaru’ di tasyahud akhir;
o.         Membaca salam yang kedua.

D.      Perkara Yang Membatalkan Shalat
1.         Niat memutus shalat, baik shalat fardu atau shalat sunnah, niat memutus shalat membatalkan shalat. Batal bagi orang yang menggantungkannya dengan hasilnya suatu perkara, walaupun perkara itu halal dan sudah menjadi pengadatan.[17]
2.         Merasa ragu bahwa shalatnya telah terputus. Hal seperti ini tidak batal, jikalau menimpa kepada orang yang memang sudah sering was-was dalam shalat dan selain shalat.
3.         Pergerakan yang banyak lebih dari tiga kali gerakan yang terus-menerus. Tidak membatalkan gerakan-gerakan kecil, seperti gerakan jari-jari, dan pelupuk mata.
4.         Berbicara dengan sengaja, walaupun hanya dua huruf secara terus-menerus. Berbeda dengan membaca Al-Quran, dzikir, dan do’a yang tidak bertujuan memberi kepahaman seseorang, hal ini tidak membatalkan shalat.
5.         Masuknya sesuatu ke dalam perut. Sama halnya dengan yang membatalakan puasa. Baik sedikit maupun banyak, makan atau minum tetap membatalkan shalat. Batal juga disebabkan makan yang banyak karena lupa. walaupun hal ini tidak membatalkan puasa. Tidak batal bagi orang yang  tidak tahu atas kaharaman makan dan minum.
6.         Menambah rukun fi’li dengan sengaja. Tidak dalam keadaan bermakmum. misalnya menambah rukun atau sujud, sekalipun tidak dengan tuma’ninah di dalamnya. Termasuk membatalkan shalat adalah seseorang dalam keadaan duduk, kemudian membungkuk sehingga keningnya sejajar dengan depan lulutnya, sekalipun hal itu dilakukan agar dapat duduk tawaruk dan iftirasy, yang kedua-duanya disunahkan. Sebab melakukan perbuatan yang membatalkan shalat itu tidak diampuni adanya demi melakukan perkara yang sunah.
7.         Meyakini atau menyangka bahwa kefarduannya shalat adalah sunnahnya shalat.
8.         Hadats, walaupun dengan tidak sengaja.
9.         Terkena najis yang yang tidak di ma’fu. tidak batal jika seketika langsung di buang.
10.     Terbukanya aurat, kecuali jika terbukanya aurat disebabkan oleh angin lalu dengan seketika langsung ditutup kembali.
11.     Meninggalkan rukun secara sengaja.
12.     Merasa ragu-ragu akan niat takbiratul ihram atau syarat niat itu sendiri, padahal shalat sudah berjalan satu rukun qauli atau fi’li, atau ragu-ragu yang lama melampaui sebagian rukun qauli yang terjadi.[18]





BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Shalat adalah ucapan dan perbuatan yang telah ditentukan, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Shalat wajib bagi setiap muslim yang berakal, baligh, dan suci dari haid dan nifas bagi wanita. Shalat dihukumi sah apabila: 1) orang yang shalat dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun hadats besar; 2) Bersihnya badan, pakaian, dan tempat sholat dari najis; 3) menutup aurat; 4) mengetahui masuknya waktu shalat; 5) menghadap kiblat; 6) mengetahui kefarduannya shalat; kefarduan shalat dinamakan dengan rukun shalat. Rukun shalat diantaranya adalah sebagai berikut: 1) niat; 2) Takbiratul Ihram; 3) Berdiri Bagi Yang Mampu; 4) Membaca Surat Al-fatihah disetiap Raka’at; 5) Ruku’; 6) I’tidal; 7) Melakukan Dua Sujud; 8) Duduk di Antara Dua Sujud; 9)Tuma’ninah; 10) Membaca Tasyahud Akhir; 11) Membaca Shalawat kepada Nabi; 12) Duduk Tasyahud Akhir; 13) Memaca Salam; 14) Tertib.

B.       Kritik Dan Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang.



[1] Muhammad bin Qasim Al-Ghozi As-Syafi’i, Fathu Al-Qarib Al-Mujib (Ibnu Sholihin:Rembang), hal. 18
[2] Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiah Al-Bajuri Ala Ibnu Qasim Al-Ghozi  juz awal (Al-Haromain:Surabaya), hal. 129
[3] Ibid, hal. 129
[4] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in Bisarkhi Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmah Ad-Din (Dar AL-Kotob Al-Ilmiyah: beirut, 2013), hal. 18
[5] Muhammad bin Qasim Al-Ghozi As-Syafi’i, Fathu Al-Qarib Al-Mujib (Ibnu Sholihin:Rembang), hal. 20
[6] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in Bisarkhi Qurroh Al-‘Ain bi Muhimmah Ad-Din (Dar AL-Kotob Al-Ilmiyah: beirut, 2013), hal. 24
[7] Muhammad bin Qasim Al-Ghozi As-Syafi’i, Fathu Al-Qarib, hal. 18-19
[8] Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiah Al-Bajuri Ala Ibnu Qasim Al-Ghozi  juz awal (Al-Haromain:Surabaya, 2009), hal. 120-129
[9] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 26
[10] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 27
[11] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 29
[12] Ibid, hal. 36
[13] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 38
[14] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 41
[15]Ibid, hal. 41
[16] Muhammad bin Qasim Al-Ghozi As-Syafi’i, Fathu Al-Qarib, hal. 23
[17] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 44
[18] Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathu Al-Mu’in, hal. 46

1 komentar: